Persetujuan RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Ditunda
Utama

Persetujuan RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Ditunda

Lantaran masih terdapat sejumlah pasal yang belum disepakati, Komisi II menunda pengambilan keputusan atas RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal soal hirarki peraturan perundang-undangan merupakan yang paling rumit dan berat perdebatannya.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Persetujuan RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Ditunda
Hukumonline

Pembahasan akhir terhadap RUU PPP tersebut sempat diskors untuk memberikan kesempatan kepada para pimpinan fraksi untuk melakukan lobi terutama mengenai tiga pasal yang deadlock. Namun, meski lobi berlangsung lebih dari satu jam, Komisi II dan pemerintah tetap tidak bisa menyepakati ketiga pasal tersebut.

Meski begitu, lobi antar pimpinan fraksi dan pemerintah berhasil menginventarisasi menyangkut Pasal 3. Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah memilih alternatif 1 untuk Pasal 3. Sedangkan, F-PDIP, F-Reformasi, F-KKI, F-PPP, F-PKB, F-PBB, F-TNI/Polri serta pemerintah memilih alternatif 2. selain itu, lobi juga menyepakati bahwa AB dinyatakan tidak berlaku setelah RUU PPP disahkan.

Adapun ketiga pasal RUU PPP yang deadlock tersebut beserta alternatif masing-masing adalah sebagai berikut: 

Pasal

Rumusan/Alternatif

Keterangan

Pasal 3

Alternatif 1

Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.

F-Golkar dan F-PDU

Alternatif 2

(1)   Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.

(2)   Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara.

(3)   Penempatan Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dalam Lembaran

F-PDIP, F-Reformasi, F-KKI, F-PPP, F-PKB, F-PBB, F-TNI/Polri serta pemerintah

Pasal 7

Alternatif 1

(1)         Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut

a.             Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.             Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

c.              Peraturan Pemerintah;

d.             Peraturan Presiden/peraturan lembaga negara nonpemerintah;

e.             Peraturan Menteri/peraturan lembaga pemerintah nondepartemen;

f.               Peraturan Daerah Provinsi;

g.             Peraturan Gubernur;

h.             Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;

i.               Peraturan Bupati/Walikota;

j.               Peraturan Desa.

(2)         Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Alternatif 2

(1) Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut

a.         Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.         Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

c.          Peraturan Pemerintah;

d.         Keputusan Presiden;

e.         Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e adalah:

a.      Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur.

b.      Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota.

c.       Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan rakyat atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

(3)  Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Alternatif 3

(1)  Jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut

a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.    Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

c.    Peraturan Pemerintah;

d.    Keputusan Presiden;

e.    Peraturan Daerah.

(2)  Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(3)  Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 58

Masyarakat dapat memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan maupun pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan.

 

Menghadapi perdebatan yang alot mengenai ketiga pasal tersebut serta belum tuntasnya pembahasan soal penjelasan dan lampian RUU, Teras menyatakan bahwa dengan "berat hati dan terpaksa" Komisi II tidak bisa menyelesaikan pembahasan RUU PPP pada masa persidangan saat ini.

Teras mengatakan bahwa pembahasan RUU PPP akan dilanjutkan pada masa persidangan berikutnya yang akan dimulai sekitar pertengahan April 2004. Pada 5 Maret 2004, DPR akan mengadakan sidang paripurna penutupan masa sidang II 2003-2004.

Sementara, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Erni Setyowati mengatakan bahwa ia menyambut baik penundaan persetujuan RUU PPP. Pasalnya, ia menilai Komisi II belum maksimal dalam membahas RUU tersebut. "Pembahasannya sangat terburu-buru dan tidak dialakukan secara maksimal," ucap Erni kepada hukumonline.

Rapat Kerja antara Komisi II  DPR dengan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra pada Rabu (3/3) sedianya akan melakukan pembahasan akhir terhadap RUU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP). Rencananya, RUU tersebut akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disetujui seluruh anggota dewan pada Jumat (5/3).

Namun, rapat yang dipimpin Ketua Komisi II Teras Narang tersebut tak mampu menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditinggalkan oleh Panitia Kerja RUU PPP. Sebelumnya, Ketua Panja RUU PPP Hamdan Zoelva melaporkan bahwa pihaknya tidak dapat menuntaskan pembahasan RUU karena masih ada tiga pasal yang belum disepakati oleh fraksi dan pemerintah.

Ketiga pasal yang deadlock di tingkat Panja tersebut adalah Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 58. Hamdan menjelaskan bahwa terhadap masing-masing pasal terdapat beberapa alternatif rumusan. Untuk Pasal 3 terdapat dua alternatif rumusan, Pasal 7 ada tiga alternatif rumusan, sedangkan untuk Pasal 58 tidak ada alternatif melainkan ada perbedaan rumusan antara pemerintah dan DPR.

Hamdan mengatakan bahwa selain ketiga pasal tersebut, masalah lain yang belum diselesaikan oleh Panja adalah mengenai status hukum Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie yang sering disingkat AB, penjelasan dan lampiran-lampiran RUU yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari RUU PPP.

Tags: