Masyarakat Tidak Takut pada Ancaman Pidana RUU Anti Pornografi
Utama

Masyarakat Tidak Takut pada Ancaman Pidana RUU Anti Pornografi

Pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia DR Rudi Satriyo Mukantarjo berpendapat bahwa pembentukan RUU Anti Pornoaksi sama sekali bukan solusi dalam memberantas masalah pornoaksi di Indonesia. Bahkan, ia menilai bahwa pemerintah tidak akan mampu menegakkan aturan-aturan yang termuat di dalamnya.

Oleh:
Amr
Bacaan 2 Menit
Masyarakat Tidak Takut pada Ancaman Pidana RUU Anti Pornografi
Hukumonline

 

Rudi berpandangan, yang diperlukan masyarakat bukanlah undang-undang khusus anti pornoaksi, sekalipun ancaman pidananya menyeramkan. "Masyarakat tidak takut dengan ancaman pidana, yakin itu. Masyarakat itu takut kalau kemudian begitu dia melakukan sesuatu kemudian ada suatu tindakan yang kongkrit bukan diancam. Itu kemudian yang harus dipikirkan oleh pembuat undang-undang," tegasnya.

 

Rudi melihat bahwa bermacam ancaman pidana yang relatif berat yang diatur dalam RUU Anti Pornoaksi kemungkinan hanya tinggal ancaman, karena pembuat RUU tidak memikirkan bagaimana mekanisme untuk menegakkan berbagai sanksi itu.

 

Ia mencontohkan Undang-undang No.2/1997 tentang Narkotika yang memuat banyak ancaman pidana yang berat bagi pelakunya, namun ternyata semua itu tidak membuat masyarakat menjadi takut untuk terus menggunakannya. "Itu hanya sekadar menakut-nakuti masyarakat, tapi masyarakat tidak akan pernah takut," ucapnya.

 

Badan Anti Pornoaksi

 

Sekadar informasi, salah satu perbuatan yang dikategorikan sebagai pornoaksi adalah berciuman bibir di muka umum diancam dengan pidana penjara 1 sampai 5 tahun serta denda maksimal Rp 250 juta. Sedangkan, perbuatan pornoaksi yang diancam dengan pidana paling tinggi yaitu pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar adalah menyelenggarakan pesta atau pertunjukan seks.

 

Sementara itu, dalam RUU Anti Pornoaksi juga diperkenalkan Badan Anti Pornoaksi Nasional (BAPN). BAPN berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah serta mewakili kepentingan masyarakat dalam upaya penaggulangan masalah pornoaksi.

 

Anggota BAPN terdiri atas unsur perwakilan badan keagamaan, pakar seni dan budaya, pakar olahraga, pakar hukum pidana, dan pakar sosiologi. Anggota BAPN dipilih oleh DPR melalui fit and proper test. BAPN juga menerima keberatan terhadap penyelenggaraan atau penyediaan jasa pornoaksi yang disampaikan oleh masyarakat.

 

Mengenai BAPN, Rudi mengatakan bahwa ia pesimis terhadap efektifitas lembaga tersebut. Ia ragu BAPN bisa lebih berani ketimbang polisi dalam memberantas pornoaksi. "Yang penting adalah bicara soal bagaimana membuat masyarakat sadar soal harga dirinya," tukas Rudi.

 

Bicara soal aturan mengenai pornoaksi, pornografi ataupun kejahatan kesusilaan, sebenarnya telah relatif terperinci diatur dalam RUU KUHP. Paling tidak ada 24 pasal dalam RUU KUHP, mulai dari Pasal 411 hingga Pasal 435 di bawah Bab XV tentang Tindak Pidana Kesusilaan, yang mengatur hal tersebut.

"Apalagi kemudian bicara aturan soal ciuman, aduh undang-undang seperti itu akan menjadi satu hal yang mubazir saja. Sebaiknya aturan yang sudah ada di KUHP ditegakkan saja," ucap Rudi ketika dihubungi hukumonline.

 

Menurutnya, banyak aturan yang diatur dalam RUU Anti Pornoaksi sudah diatur oleh Pasal 281 KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan. Karena itulah Rudi tidak sependapat dengan pemikiran para pembuat RUU Anti Pornoaksi yang menganggap peraturan perundang-undangan yang ada belum mengatur masalah pornoaksi secara komprehensif. Di mata Rudi, persoalannya bukanlah terletak pada perundang-undangan yang tidak komprehensif, melainkan karena tidak adanya penegakan aturan yang ada.

Tags: