Definisi 'Ketertiban Umum' Masih Simpang Siur
Berita

Definisi 'Ketertiban Umum' Masih Simpang Siur

Jakarta,hukumonline Embel-embel "ketertiban umum" hampir ditemukan pada setiap perangkat perundang-undangan di Indonesia. Namun, definisi "ketertiban umum" hingga kini belum jelas alias masih simpang siur.

Oleh:
Leo/Fat/APr
Bacaan 2 Menit
Definisi 'Ketertiban Umum' Masih Simpang Siur
Hukumonline

Sayangnya, kerap kali ketertiban umum dijadlkan legitimasi oleh penguasa untuk melindungi kepentingannya. Memang, sampai saat ini tidak ada panduan yang universal untuk menafsirkan apa yang dimaksud ketertiban umum.

Ketertiban umum disebutkan mulai dari Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) sampai Undang-Undang Koperasi. Pasal 13 UUPT misalnya, menyatakan bahwa Perseroan tidak boleh menggunakan nama yang bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan.

Kepentingan umum juga disebutkan dalam Undang-Undang (UU) Telekomunikasi dan Undang-Undang HAKI. Pasal 21 UU Telekomunikasi menyebutkan, penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan atau ketertiban umum.

Istilah ketertiban umum nyaris tak terlupakan dalam setiap Undang-Undang di Indonesia. Ibarat kosmetik bagi wanita, ketertiban umum adalah alat yang wajib dikenakan.

Tidak jelas batasannya

Istilah ketertiban umum ternyata tidak jelas batasannya dalam praktek. Seringkali dalam putusan pengadilan, salah satu pihak dihukum karena perbuatannya melanggar ketertiban umum. Hakim sendiri, melalui putusannya, juga tidak menyebutkan standar dan batasan ketertiban umum.

Dalam penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No.001/Pdt/Arb.Int/1999 atas permohonan eksekusi pada perkara antara Bankers Trust vs. PT Mayora Indah Tbk menyebutkan bahwa eksekusi dari putusan Arbitrase London tidak dapat diberikan. Pertimbangan penolakan eksekusi adalah walaupun telah ada putusan arbitrase Internasional, PN Jakarta Selatan telah membatalkan perjanjian yang menjadi dasar hukum putusan arbitrase.

Ketua PN Jakarta Pusat saat itu, Sihol Sitompul, berpendapat dalam putusannya bahwa apabila eksekusi tetap diberikan, maka jelas akan mengganggu dan bertentangan dengan ketertiban umum, sebagaimana dimaksud pasal 66 ayat(c) UU Arbitrase. Dengan demikian, eksekusi putusan arbitrase London tidak dapat diberikan karena akan mengganggu ketertiban umum.

Tags: