Potret Hukum Indonesia, Perspektif Seorang Advokat, Pembela HAM, dan Akademisi
Resensi

Potret Hukum Indonesia, Perspektif Seorang Advokat, Pembela HAM, dan Akademisi

Buku ini setidaknya akan menyadarkan kita, bahwa reformasi hukum belum tuntas atau bahkan tidak pernah tuntas karena begitu banyak yang harus diperbaiki.

Oleh:
CR-7
Bacaan 2 Menit
Buku Frans H Winarta. Foto: Sgp" title="Buku "Suara Rakyat Hukum Tertinggi" karya
Frans H Winarta. Foto: Sgp" src="https://images.hukumonline.com/frontend/lt4b18d5a2b4eba/lt4b18da659680d.jpg" data-fallback="https://static.hukumonline.com/frontend/default/images/kaze/default.jpg" onerror="this.onerror=null;this.src=this.dataset.fallback;" class="img-fluid w-100 h-100 rounded" />
Buku "Suara Rakyat Hukum Tertinggi" karya<br>Frans H Winarta. Foto: Sgp

Hukum merupakan suatu kerangka besar yang menentukan seluruh aspek kehidupan berbangsa. Bagaimana suatu bangsa itu dibentuk sangat ditentukan oleh bagaimana hukum itu dibuat dan diterapkan. Namun sayangnya, hukum di Indonesia justru masih menjadi ladang masalah dan sumber keterpurukan negara ini. Hal inilah yang menjadi benang merah dari buku “Suara Rakyat Hukum Tertinggi” yang ditulis oleh Frans H Winarta.

 

Buku ini merupakan kumpulan tulisan Frans H Winarta selama lebih dari dua dasawarsa. Total ada sekitar 57 tulisan yang tersaji dalam buku ini. Tulisan ‘tertua’ berjudul “Ribut-Ribut Bukan Ciri Advokat” dipublikasikan Harian Kompas pada November 1987. Sementara, tulisan Frans termutakhir berjudul “Pekerjaan Rumah Hakim Agung” dipublikasikan Harian Koran Jakarta pada 18 Oktober 2008.

 

Sebagaimana diutarakan dalam Kata Pengantar, buku ini merupakan rangkuman pemikiran seorang Frans H Winarta dengan tiga identitasnya yakni sebagai advokat, pembela HAM dan akademisi. Selain sibuk berkecimpung di dunia praktek hukum, penulis juga tercatat mengajar di Universitas Pelita Harapan, Universitas Atmajaya Jakarta, dan Universitas Atmajaya Yogyakarta. 

 

Seperti judul karya pertamanya yang ditampilkan dalam buku ini, sebagian besar perjalanan karir penulis memang dihabiskan di dunia advokat. Bayangkan, Pria kelahiran Bandung ini bahkan sudah mendirikan kantor hukum sendiri, Frans Winarta and Partners, saat usianya 38 tahun. Sebelum itu, penulis menjadi advokat publik pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Makanya, tidak heran jika buku ini dibuka dengan bab “Advokat, Penegak atau Pedagang Hukum”.

 

Di bab mukadimah ini, penulis mengupas habis segala aspek terkait profesi advokat, mulai dari peran, hubungan dengan klien, kode etik, hingga dinamika organisasi advokat. Dari beragam topik yang tersaji pada Bab I, persepsi ideal penulis tentang profesi advokat tampaknya tertuang dalam sub bab “Peranan Advokat dalam Mendorong Terwujudnya Keadilan Sosial bagi Pencari Keadilan”. Di sini, penulis menekankan tugas mulia seorang advokat yakni memberi bantuan hukum cuma-cuma alias pro bono.

 

Gagasan yang ditawarkan penulis adalah bantuan hukum responsif yakni bantuan hukum yang tidak semata cuma-cuma tetapi juga meliputi semua bidang hukum. Tidak terbatas pada hukum pidana atau HAM, hak-hak keperdataan orang yang tidak mampu juga patut dibela. Penulis berpendapat pemberian bantuan hukum seharusnya disesuaikan dengan budaya dan karakteristik daerah, karena masing-masing daerah pastinya memiliki kebutuhan yang berbeda-beda.

Tags: