Red Flag, Mengusik Ketenangan Nasabah
Utama

Red Flag, Mengusik Ketenangan Nasabah

Bank Indonesia menerbitkan surat edaran terkait PBI anti money laundering kepada setiap bank umum untuk melaporkan aktivitas perbankan yang tidak wajar. Ketentuan ini berpotensi melanggar asas praduga tak bersalah. Privasi nasabah bisa terganggu?

Oleh:
Sut/CR-7
Bacaan 2 Menit
Bank Indonesia mewajibkan setiap bank untuk memastikan <br> kesesuaian identitas nasabah yang  namanya mirip teroris <br> dengan informasi lain yang terkait. Foto: Sgp
Bank Indonesia mewajibkan setiap bank untuk memastikan <br> kesesuaian identitas nasabah yang namanya mirip teroris <br> dengan informasi lain yang terkait. Foto: Sgp

Mana yang harus lebih diutamakan, kepentingan negara, bank atau nasabah? Dalam ranah perbankan, jawabannya (mungkin) cuma Bank Indonesia yang tahu. Di zaman pemulihan ekonomi pascakrisis keuangan global tahun lalu, tentu menjadi pilihan sulit bagi bank untuk menolak calon nasabah. Apalagi buat bank gurem dengan modal cekak. Profil calon nasabah dengan profesi apapun bisa diterima. Tak peduli apakah kartu identitas yang digunakan nasabah ’aspal’ atau palsu sekalipun.

Inilah tantangannya. Di satu sisi, bank perlu nasabah, di sisi lain bank tidak boleh sembarang menerima nasabah. Kondisi ini terjadi semenjak UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan peraturan turunannya, termasuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) diterbitkan. Seleksi nasabah makin diperketat. Apalagi sejak peristiwa bom di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17 Juli 2009 lalu. Bank Indonesia seperti ’paranoid’.

Sejatinya, dua minggu sebelum peristiwa bom tersebut, Bank Indonesia menerbitkan kebijakan baru terkait anti pencucian uang, yakni PBI Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum tanggal 1 Juli 2009. Salah satu ketentuan yang diatur dalam PBI itu adalah bank harus meneliti nasabah yang namanya mirip dengan nama yang tercantum dalam database daftar teroris. Bila terdapat kesamaan nama nasabah dan kesamaan informasi lainnya, bank wajib melaporkan nasabah tersebut dalam laporan transaksi keuangan mencurigakan.

Ketentuan tersebut menuai polemik. Meski belum membaca PBI-nya, namun Ifdhal Kasim, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengatakan aturan semacam itu bisa melanggar asas persamaan di depan hukum dan presumption of innoncent (praduga tak bersalah). Sebab, kata dia, seseorang yang belum dijatuhi hukuman oleh pengadilan, apakah terkait teroris atau bukan, tidak bisa serta merta ditolak dengan asumsi dia adalah teroris. ”Menurut saya, kebijakan seperti ini salah. Karena, semua orang harus dijamin dapat mengakses, menggunakan perbankan bagi peningkatan dirinya,” ujar Ifdhal, Rabu (9/12).

”Menurut saya, suatu keputusan yang dilakukan entah oleh siapapun itu, yang bersifat membenarkan dugaan, persangkaan kepada orang, itu jelas pelanggaran hak asasi. arena ga bisa orang atas dasar kita menduga dia pelaku tindak pidana atau kriminal, atau teroris, kemudian akses dia kepada bank, kepada apapun itu ditutup,” tambah Ifdhal.

Yang jelas lima bulan berselang setelah terbitnya PBI tersebut, Bank Indonesia menerbitkan surat edarannya. Surat Edaran No. 11/31/DPNP itu prihal pedoman standar penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi bank umum. Surat edaran yang mulai berlaku sejak 30 November 2009 ini nampaknya bukan hanya akan membuat pusing nasabah tapi juga pihak bank. Selain harus lebih selektif terhadap nasabah, bank juga wajib melaporkan rencana aksi dan laporan terhadap upaya anti money laundering kepada Bank Indonesia.

Red Flag
Dalam surat edaran disebutkan bank wajib memenuhi pedoman standar penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Ada 13 pedoman, yakni manajemen; kebijakan CCD (customer due dilligence) dan EDD (enhanced due dilligence); pengelompokan nasabah menggunakan pendekatan berdasarkan risiko (risk based approach); prosedur penerimaan, identifikasi dan verifikasi; area berisiko tinggi dan political exposed person; prosedur pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga.

Kemudian cross border correspondent banking; prosedur transfer dana; sistim pengendalian intern; sistim manajemen informasi; sumber daya manusia dan pelatihan karyawan; kebijakan dan prosedur penerapan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme pada kantor bank dan anak perusahaan di luar negeri; dan penatausahaan dokumen dan pelaporan. Ketigabelas standar itulah yang wajib dilaporkan direktur kepatuhan bank kepada Bank Indonesia setiap akhir tahun, mulai Desember 2010.

Dalam lampiran surat edaran juga dicantumkan contoh-contoh transaksi, aktivitas dan prilaku yang tidak wajar (biasa disebut red flag) yang patut dicurigai oleh bank. Bank Indonesia membaginya dalam beberapa kategori, yakni transaksi yang tidak bernilai ekonomis, transaksi dengan menggunakan uang tunai dalam jumlah besar, transaksi dengan menggunakan rekening bank, transaksi dengan melakukan transfer ke luar negeri, transaksi yang berkaitan dengan investasi.

Lalu, transaksi yang berhubungan dengan pihak-pihak yang tidak dapat diidentifikasi, transaksi yang terkait dengan prilaku nasabah atau pelaku transaksi, ativitas yang dapat dikategorikan ilegal, transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan bank dan atau agen, transaksi mencurigakan melalui transaksi pinjam meminjam, transaksi yang terkait dengan hasil kejahatan di bidang kehutanan dan transaksi lainnya.

Untuk kategori yang termasuk ativitas ilegal misalnya, bank patut mencurigai nasabah yang diberitakan media massa sebagai seseorang yang diduga terlibat aktivitas ilegal atau tindak pidana. Modus lainnya adalah instruksi transfer dana masuk dari negara tax haven (bebas pajak, red) atau negara yang terkenal dengan pendanaan terorisme.

Kemudian untuk kategori transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan bank dan atau agen, seperti peningkatan kekayaan karyawan dan agen bank dalam jumlah besar tanpa disertai penjelasan yang memadai. Contoh lainnya adalah hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai mengenai penerimaan akhir (ultimate beneficiary).

Yang jelas, contoh aktivitas transaksi yang tidak wajar yang dilampirkan oleh Bank Indonesia dalam surat edarannya, cukup banyak. Kalau aturannya seperti ini, privasi nasabah bukannya tidak mungkin akan terganggu. Lihat saja komentar pembaca berita hukumonline berjudul ’Bank Wajib Teliti Nasabah yang Namanya Mirip Nama Teroris’ tanggal 6 Juli 2009. Si pembaca bernama Abu Bakar Sulaiman nampaknya kontra dengan aturan BI tersebut.

Kutipannya: ”... Kalo nama dari orang tua "Muhammad Noordin" yang artinya "Muhammad Cahaya Agama" tidak boleh dipakai karena mirip Noordin M. Top, teroris kelas kakap yang paling dicari, sedangkan kalau namanya "Loe Mei Lan Tjap", "Takashi Mura", "Sun Dong Yang" atau "James Bond" adalah bukan teroris, alasannya sederhana, karena teroris tidak pernah menggunakan nama-nama itu... Bagaimana kalo warga negara Indonesia keturunan Arab, Jordan atau Mesir yang ingin bertransaksi di bank? Nama mereka sebagian besar mirip-mirip dengan daftar nama teroris yang ada, akan kita periksa satu persatu, hanya karena nama mereka sama atau mirip?? … Untuk apa memeriksa nama yang mirip, nama yang tidak mirip malah sudah melakukan cuci uang...”

Seperti komentar di atas, seorang nasabah bank swasta nasional juga mempersoalkan ketentuan ini. Sebut saja Muhammad, pria berwajah Timur Tengah ini tidak setuju jika ’pemeriksaan’ oleh bank dilakukan kepada nasabah lama, apalagi kalau dasarnya hanya kemiripan nama nasabah dengan nama teroris. ”Itu bukan domainnya bank sih. Saya rasa yang boleh dia lakukan itu hanya mengecek data-data yang dia (bank, red) sudah punya. Beda kalau ketentuan soal wawancara berlaku buat calon nasabah baru,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait