Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna Telekomunikasi?
Fokus

Aturan Penyadapan, Perlindungan atau Ancaman Bagi Pengguna Telekomunikasi?

Aturan penyadapan seyogyanya tidak dipandang sebagai ancaman bagi siapapun, melainkan sebagai jaminan penegakan hukum yang benar dan perlindungan hak asasi warga negara.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penyadapan. Foto: Sgp
Ilustrasi penyadapan. Foto: Sgp

Halo, halo.

Halo.

Opo yang.

Halo, Pak.

Pak Ritonga tadi nelpon, dek e iku rasane besok iku rapat sampek jam songo.

Jam songo opo?

Yo sampek jam songo anu isuk, tapi muk diluk thok. De e mlebu setengah delapan onok rapat.

Kalau anda sempat hadir di Mahkamah Konstitusi (MK) atau setidaknya menonton siaran langsung stasiun televisi nasional pada 3 November lalu, tentunya tidak asing dengan kutipan dialog di atas. Ya, itulah satu bagian kecil dari rekaman penyadapan komunikasi Anggodo Widjojo dengan sejumlah orang. Yang ditampilkan di atas adalah percakapan antara Anggodo dengan Ong Yuliana Gunawan. Secara utuh, rekaman itu diperdengarkan dalam sidang pengujian UU KPK yang diajukan oleh Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, ketika itu masih berstatus tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dan pemerasan.

Rekaman penyadapan tersebut kemudian menimbulkan kontroversi. Setiap hari, hampir semua media mengupas bagian demi bagian isi rekaman yang diyakini pihak Chandra-Bibit sebagai bukti adanya rekayasa terhadap kasus mereka. Akhir episodenya sudah kita ketahui semua, happy ending untuk Chandra dan Bibit. Keduanya tidak lagi berstatus tersangka, dan bahkan sudah kembali duduk di kursi Pimpinan KPK.

Terlepas dari benar atau tidaknya isi rekaman itu, satu aspek yang agak terlupakan dibahas adalah tentang perlindungan terhadap privasi seorang warga negara Indonesia. Rekaman yang diputar di MK menunjukkan bagaimana ‘mudahnya’ aparat menyusup ke kehidupan pribadi seseorang atas nama penegakan hukum. Faktanya, tidak hanya nama Yuliana yang disebut dalam rekaman itu, tetapi ada juga nama Wisnu, Susno, Ary, dan nama-nama lain. Silakan anda hitung, berapa kehidupan pribadi yang telah disusupi aparat penegak hukum.

Jika dicermati, kutipan dialog Anggodo dan Yuliana di atas jelas nuansanya pribadi atau lazim disebut privasi. Hal ini bisa disimpulkan berdasarkan beberapa petunjuk. Pertama, penggunaan bahasa daerah yang menunjukkan bahwa keduanya memiliki bahasa khusus yang biasa mereka pergunakan sehari-hari. Dari bahasa, maka kurang lebih dapat disimpulkan pula bahwa Anggodo dan Yuliana berasal dari atau setidaknya pernah hidup di Jawa Timur.

Petunjuk lain adalah penggunaan sapaan khusus “Yang” yang maknanya pasti hanya Anggodo dan Yuliana yang paham. Publik mungkin bisa menduga-duga, “Yang” adalah penggalan kata “Sayang” atau “Yayang”. Namun, terlepas dari itu -dan juga di luar perdebatan relevansi serta materi percakapan yang disadap-, faktanya, ranah pribadi Anggodo dan Yuliana telah diterobos oleh KPK. Dan, kemudian diperdengarkan ke publik.

Potensi penyalahgunaan
Mari berandai-andai, anda adalah Anggodo. Laiknya seorang mahluk sosial, anda pasti akan berinteraksi dengan orang lain. Di era informasi ini, beragam alat dapat digunakan untuk berinteraksi. Salah satunya melalui alat komunikasi, termasuk telepon seluler yang lagi tren saat ini. Ketika anda berkomunikasi dengan telepon seluler, tanpa sepengetahuan anda, aparat penegak hukum ternyata melakukan penyadapan ‘hanya’ dengan dasar adanya dugaan tindak pidana. Dan jika anda ‘senaas’ Anggodo, rekaman itu kemudian dibuka ke publik.

Dari kaca mata para penggiat anti korupsi, langkah KPK menyadap Anggodo atau orang lain yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tentu dapat dibenarkan. Tetapi, muncul pertanyaan, apa atau siapa yang dapat menjamin penyadapan benar-benar dilakukan demi penegakan hukum, bukan kepentingan pribadi atau vested interest lainnya? Lalu, apakah kewenangan penyadapan telah dilengkapi dengan sistem pengawasan yang ketat?

Tags:

Berita Terkait