PN Tangerang Vonis Bebas, Prita Buka Perdamaian Dengan RS Omni
Utama

PN Tangerang Vonis Bebas, Prita Buka Perdamaian Dengan RS Omni

Majelis berpendapat, kalimat-kalimat yang dimuat Prita dalam email merupakan kritik terhadap dokter dan pelayanan rumah sakit demi kepentingan umum.

Oleh:
Rfq/Fat/M-7
Bacaan 2 Menit
Prita Mulyasari (tengah, berjilbab) tersenyum usai pembacaan <br> vonis  PN Tangerang. Foto: Sgp
Prita Mulyasari (tengah, berjilbab) tersenyum usai pembacaan <br> vonis PN Tangerang. Foto: Sgp

Akhirnya, Prita Mulyasari terdakwa dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni Internasional, Alam Sutera Tangerang, dapat menghirup udara bebas. Tetes air mata mengalir dari pipinya saat mendengar majelis hakim yang dipimpin Arthur Hangewa membacakan amar putusan. Duduk di kursi pesakitan, Prita mendengarkan dengan seksama ketika Arthur membacakan putusan. “Menyatakan terdakwa Prita Mulyasari tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencemaran  nama baik. Membebaskan terdakwa Prita Mulyasari dari dakwaan,” ujar Arthur, di Pengadilan Negeri  (PN) Tangerang, Selasa (29/12). 

Suara riuh gembira pendukung Prita pun semakin menggelegar di dalam dan luar ruang sidang.  “Hidup Prita” teriak pendukung Prita di luar ruang sidang. Selain vonis bebas, PN Tangerang juga memerintahkan agar nama baik, harkat, dan martabat Prita dipulihkan.

Prita, ibu beranak dua ini dibidik oleh jaksa penuntut umum dengan tiga dakwaan alternatif. Pertama, penuntut umum menjerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sementara dakwaan kedua dan ketiga, penuntut umum menjerat dengan Pasal 310 ayat (2) dan pasal 311 ayat (1). Sebagaimana diketahui, ketiga pasal tersebut dirancang untuk menjerat bagi pelaku  yang diduga melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan.

Ibu beranak dua ini dituntut oleh penuntut umum yang diketuai oleh jaksa Riyadi selama enam bulan penjara. Dalam tuntutannya, terdapat hal yang memberatkan. Bahwa perbuatan Prita dengan mengirimkan surat elektronik (email) kepada 20 alamat dinilai tidak akan hilang terkecuali dihapus oleh penerima. Alasan kedua, bahwa tidak terjadi kesepakatan untuk berdamai di dalam persidangan meskipun ada upaya dari pihak Walikota Tangerang Selatan HM Sholeh dengan manajemen RS Omni.

Majelis hakim melihat unsur dalam dakwaan pertama. Untuk unsur setiap orang, dinilai majelis terpenuhi karena Prita diajukan ke persidangan  dalam keadaan sehat. Lalu, unsur dengan sengaja, majelis berpendapat, perbuatan Prita dengan mengirimkan email berbunyi ” Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini” adalah perbuatan yang dikehendaki. Sehingga, majelis berpendapat perbuatan Prita telah tercapai alias terpenuhi.

Ketiga, unsur mendistribusikan akses elektronik. Ketidakpuasan Prita atas pelayanan dan tidak transparansinya dokter yang merawat menjadi pemacu mengirimkan keluhan melalui email kepada sejumlah temannya. Namun majelis justru mempertanyakan apakah isi dari keluhan email tersebut berupa muatan pencemaran dengan judul “Penipuan RS Omni Internasional”.  Majelis hakim tentu menelaah dengan tidak sepotong kalimat.  “Tapi harus dilihat hubungan hukum terdakwa dengan dr Hengki dan dr Grace,” ujarnya Arthur.

Dalam uraian pertimbangannya, majelis berpendapat Prita mengirimkan email kepada sejumlah temannya bukan pencemaran, melainkan sebatas kritikan kepada dokter Hengki dan dokter Grace. Setelah berpidah ke RS Bintaro Internasional, hasil deteksi menyatakan Prita menderita penyakit Gondongan dan menular. Gara-gara diagnosis itu Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi. Setelah tiga hari, Prita kembali ke rumah. Dengan demikian, pernyataan Prita dalam email hanya sebatas kritikan kepada sang dokter. “Kalimat terdakwa merupakan satu cara agar masyarakat terhindar dan tidak mendapat pelayanan medis dari dokter yang tidak baik. Demikian halnya kalimat terdakwa terhadap dr Grace adalah kritikan sebagai customer service,” ujarnya.

Dengan demikian, menurut pendapat hakim, perbuatan dr Grace dapat dikatakan tidak profesional. Bahkan tidak menghargai hak seorang pasien yang berharap sembuh dari penyakit. Berdasarkan uraian unsur ketiga, majelis berpendapat bahwa email terdakwa Prita Mulya Sari tidak bermuatan penghinaan atau pun pencemaran nama baik. “Dalam kalimat tersebut adalah kritik dan demi kepentingan umum agar masyarakat terhindar dari praktek-praktek dari rumah sakit dan dokter yang tidak memberikan pelayanan medis yang baik,” ujarnya.

Dalam pertimbangannya, majelis tidak sependapat dengan penuntut umum, bahwa jika terdakwa tidak puas atas pernyataan dokter, pasien dapat mengadukan dokter bersangkutan ke majelis  kehormatan kedokteran. Sebab, sambung Arthur,  kasus ini telah menjadi perhatian publik. Namun sayangya, belum adanya tindakan dari majelis kehormatan kedokteran disiplin. Dalam pertimbangannya, lantaran salah satu unsur dakwan pertama tidak terpenuhi, maka Prita tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan pertama. “Oleh karena itu terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut,” ujarnya.

Sedangkan pada dakwaan kedua dan ketiga, yakni Pasal 310 ayat (2) dan Pasal 311 ayat (1) KUHP, dalam pertimbangan majelis pada pokoknya sama yakni tindak pidana menyerang kehormatan orang lain dengan tulisan. Sedangkan Dalam Pasal 310 ayat (2) menyerang kehormatan dengan tulisan dan gambar. Dalam Pasal 310 ayat (3), sambung Arthur, menyebutkan “Tidak termasuk pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.

Majelis berpendapat perbuatan terdakwa semata-mata demi kepentingan umum. Majelis merujuk pada Pasal 310 ayat (3) KUHP. Sehingga, perbuatan Prita Mulya Sari tidak secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan kedua dan ketiga. “Oleh karena itu terdakwa harus dibebaskan dari kedua dakwaan tersebut,” ujarnya.

Penuntut umum Riyadi menyatakan akan berpikir-pikir menggunakan waktu selama empat belas hari. Meski begitu, penuntut umum menurut Riyadi tetap akan menggunakan hak. Apakah akan banding atau tidak. Riyadi juga sempat mengingatkan majelis hakim agar menyerahkan salinan putusan kepada penuntut umum tujuh hari sejak putusan dibacakan. “Dalam perkara ini kami akan gunakan hak kami dengan berpikir-pikir selama empat belas hari,” ujarnya. Usai persidangan, Riyadi mengatakan bahwa majelis hakim dalam pertimbangannya tidak mengutip kalimat dalam surat tuntutannya.  Selain itu, menurut Riyadi, Prita masih berstatus terdakwa. “Ingat, Prita masih berstatus terdakwa karena perkara ini belum inkracht,” ujarnya.

Sambut gembira dan damai
Suami Prita,  Andri Nugroho menyatakan kegembiraan atas bebasnya Prita dari jeratan hukum. “Alhamdulillah ini atas doanya semua,” ujarnya. Menurutnya, majelis hakim telah memberikan putusan sesuai rasa keadilan masyarakat. “InsyaAllah hakim melihat keadilan yanga ada ujungnya,” ujarnya.

Sementara penasihat hukum Prita, Slamet Yuono mengatakan gembira. Bebasnya Prita, oleh Slamet telah diduga. “Kita punya pemikiran Prita Mulya Sari akan dibebaskan,” katanya.  Pasalnya,  sambung Slamet, majelis hakim menguraikan dengan kronologis. Menurtnya, dalam perkara yang menjerat ibu bernak dua ini, tidak ada terdapat barang bukti. Sementara, untuk kasus perdata dan pidana, menurut Slamet Prita akan membuka damai. “Kita membuka peluang damai untuk perkara perdata,” ujarnya.

Menurutnya, meski perkara sudah diputus sebaliknya RS Omni tetap akan melakukan upaya hukum, bagi Slamet tidak masalah. Namun, Prita tetap akan menawarkan perdamaian. “Karena secara otomatis perdatanya tidak terbukti perbuatan melawan hukum yang dilakukan Prita Mulya Sari. Sebaliknya perbuatan melawan hukum oleh Omni Internasional,” ujarnya

Meski membuka peluang untuk berdamai, nampaknya Prita akan serang balik. Menurut Slamet, tim akan melakukan gugatan rekonvensi sebesar Rp,1 triliun. Meski begitu, kliennya tetap membuka peluang untuk melakukan damai. “Bu Prita ingin hidup damai dan tenang,” ujarnya. Menurutnya, jika RS Omni Internasional meminta maaf kepada Prita,  bukan tidak mungkin akan mencabut perkara gugatan balik perdata. “Sekarang kita menunggu permintaan maaf dari pihak Omni Internasional. Kalau mereka ingin damai kita buka peluang,” ujarnya.

Prita kepada wartawan menyatakan gembira. Menurutnya, perseteruan dengan RS Omni mesi diakhiri. “Cukuplah  kita  1,5 tahun bersitegang,” ujarnya. Prita mengaku akan tetap membuka damai dengan RS Omni. “Saya dan keluarga akan tetap membuka silaturahim dengan Omni,” ujarnya.

Revisi UU ITE
Terpisah, luapan rasa gembira tidak hanya terpancar dari wajah Prita maupun tim penasihat hukumnya. Melainkan juga dari raut wajah Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring. “Hari ini saya merasa sangat gembira dan bahagia dengan mendengar vonis bebasnya Prita,” ujarnya. Menurutnya, atas preseden yang menimpa Prita, UU ITE mesti ditelaah. “Kalau menurut saya kalau ada hal yang kurang pas ya silahkan saja dikoreksi, kita beri masukan,” ujarnya. Menurutnya, pihak Depkominfo  akan membrikan saran dan masukan ke DPR agar adanya perbaikan dan revisi terhadap UU ITE. “Karena kewenangan untuk merevisi UU itu ada di DPR,” ujarnya.

Senada dengan Tifatul, rasa gembira juga meluncur  dari bibir Wakil Ketua DPD Ratu Hemas. “Alhamdulillah Prita bisa bebas,” ujarnya. Menurutnya, bebasnya Prita sebagai wujud dan bukti bahwa keadilan masih berpihak pada rakyat. Menurutnya, pihak RS Omni tidak melakukan upaya banding. Sebaliknya, sambung Hemas, Prita pun demikian. “Jangan kasasi dan banding. Itu saran saya,” ujarnya.

Tidak berbeda dengan Tifatul dan Hemas, aktifis Yayasan lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menggungkapkan kegembiraannya. “Saya menyambut gembira putusan itu. Ini sangat baik untuk perlindungan konsumen di Indonesia,” ujarnya  kepada hukumonline. Meski begitu, Sudaryatmo menilai mesti dilihat terlebih dahulu alasan hukumnya. Sudaryatmo menghimbau jaksa tidak mengajukan kasasi. Sebab, Sudaryatmo berpandangan bahwa kasus tersebut kental perlindungan masalah konsumen. Bahkan dinilai telah dipaksakan masuk ke ranah pidana. “Sebenarnya lebih kental masalah perlindungan konsumen dan sangat dipaksakan untuk ke ranah pidana,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait