Banjir Perkara Pailit di Tahun Kerbau
Edisi Akhir Tahun 2009:

Banjir Perkara Pailit di Tahun Kerbau

Jumlah perkara pailit tahun 2009 meningkat dibanding tahun 2008. Banyak PR yang harus dibenahi Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan. Salah satunya soal inkonsistensi putusan antara perkara yang satu dengan yang lain.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
Permohonan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tahun <br> ini naik dibanding tahun lalu. Foto: Sgp
Permohonan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tahun <br> ini naik dibanding tahun lalu. Foto: Sgp

Angka kepailitan tahun 2009 di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat meningkat. Sejak dua tahun terakhir kecenderungan perkara kepailitan memang terus naik. Dua tahun lalu, perkara kepailitan hanya 64 perkara. Setahun kemudian menurun menjadi 59 perkara. Dari penelusuran hukumonline, hingga pertengahan Desember tahun ini, jumlah permohonan pailit tercatat 74 perkara.

 

Tren peningkatan perkara pailit di tahun Kerbau ini telah dibaca praktisi hukum kepailitan, Ricardo Simanjuntak,  sejak pertengahan Agustus 2008 lalu. Peningkatan itu ditengarai krisis ekonomi yang membelit dunia akhir tahun 2008. Meski Indonesia tak langsung mengalami krisis, kata Ricardo, tapi hal itu berdampak pada aktivitas ekonomi di Indonesia. Misalnya, penghentian kontrak kerja sama. Maraknya permohonan kepailitan, kata Ricardo, menggambarkan industri Indonesia terpukul.

 

Dari situlah banyak sengketa hukum bermunculan. Kepailitan dipilih sebagai salah satu muara penyelesaian. Ricardo menduga banyak sengketa bisnis yang timbul pascakrisis moneter. Hanya, tidak semuanya masuk jalur kepailitan. Banyak juga yang diselesaikan melalui mediasi, arbitrase dan gugatan perdata biasa. “Ada keengganan juga orang ke Pengadilan Niaga karena akhir-akhir ini kualitasnya cukup mengecewakan,” kata Ricardo saat dihubungi melalui telepon, Senin (28/12) kemarin.

 

Ketika perekonomian tumbuh subur, angka kepailitan memang cenderung menurun. Di awal pemerintahan Presiden SBY, pada 2004, perkara kepailitan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat 52 perkara. Setahun kemudian turun menjadi 44 perkara. Di tahun 2006 meningkat lagi menjadi 59 perkara.

 

Swandi Halim yang juga praktisi hukum kepailitan memiliki pandangan berbeda. Menurut Swandi, krisis moneter tidak banyak mempengaruhi kepailitan di Indonesia. “Karena utang piutang selalu ada. Di Indonesia gudangnya utang,” katanya.

 

Meningkatnya permohonan pailit ditengarai praktisi hukum kian menguasasi ilmu kepailitan. Kepailitan menjadi upaya hukum populer dibanding gugatan perdata. Proses perdata, kata Swandi, bisa memakan waktu lima hingga 10 tahun. Jika utang piutang perkara berlarut-larut, bunga utang bisa sebanding dengan utang pokok. Bila telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), belum tentu proses eksekusinya berjalan lancar. Jika ada perlawanan eksekusi, proses hukumnya bisa mulai dari nol lagi.

Tags: