Menkominfo Bantah RPP Penyadapan atas Usulannya
Berita

Menkominfo Bantah RPP Penyadapan atas Usulannya

“Sebelum saya diangkat menjadi Menteri, RPP Penyadapan sudah ada di Departemen Hukum dan HAM”, tutur Menkominfo Tifatul Sembiring.

Oleh:
M-7
Bacaan 2 Menit
Menkominfo Tifatul Sembiring. Foto: Sgp
Menkominfo Tifatul Sembiring. Foto: Sgp

Polemik isi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyadapan terus mengemuka. Bahkan, kini menjurus pada masalah personal. Adalah Tifatul Sembiring yang menjadi bulan-bulanan sejumlah pihak. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) dituduh sebagai orang yang berada di balik penyusunan RPP yang dianggap dapat membatasi ruang gerak kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut.

 

Seperti diberitakan hukumonline, Tifatul mendapatkan kritikan dari beberapa pakar hukum pidana. Salah satunya dari pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Teuku Nasrullah. Ia berpendapat bahwa pengaturan tentang penyadapan tidak bisa diatur dengan Peraturan Pemerintah. Menurutnya, pengaturan masalah penyadapan yang merupakan tindakan yang dilarang dalam hukum pidana karena bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), harus diatur oleh Undang-Undang, bukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

 

Tifatul sendiri menolak mentah-mentah bahwa dia yang berinisiatif dan “ngotot” terhadap pembentukan RPP Penyadapan tersebut. Menurutnya, RPP itu sudah ada di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) sebelum ia diangkat menjadi Menteri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Setahu saya, RPP itu sudah berada di Depkumham sebelum saya diangkat sebagai Menteri,” tuturnya saat jumpa pers di kantor Depkominfo, Selasa (29/12).

 

Menurut Tifatul, bukanlah suatu masalah besar jika pemerintah mengeluarkan RPP. “Namanya juga rancangan, kalau orang yang sedang merancang sebuah gedung maka ia tidak bisa dikatakan bersalah, kecuali sudah diimplementasikan,” katanya.

 

Tifatul berharap, RPP yang masih digodok di Depkumham itu, mendapat kritikan dan masukan-masukan dari publik. Menurutnya, ada sejumlah pihak yang keliru yang menyatakan bahwa terdapat 13 poin dalam RPP yang bisa melemahkan KPK. Namun, lanjut dia, setelah pihaknya bertemu dengan KPK, ternyata cuma dua poin yang masih diperdebatkan. “Jadi yang 13 poin tolong kasih tahu ke kami. Sehingga nanti dapat diperbaiki, memang tidak dapat sempurna betul, tapi kami akan memperbaiki masukan-masukan itu,” ujarnya.

 

Tifatul menjelaskan, dua poin yang menjadi titik rawan RPP Penyadapan adalah; pertama, mengenai pemintaan izin penyadapan. Jika KPK ingin melakukan penyadapan maka harus terlebih dahulu dimintakan izin dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang juga merangkap menjadi Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dikhawatirkan terjadi kebocoran keluar sebelum penyadapan dilakukan oleh KPK. Kedua, masalah Pusat Intersepsi Nasional (PIN). PIN dinilai akan menimbulkan praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Tags: