Catatan Akhir Tahun: Tinta Merah
Tajuk

Catatan Akhir Tahun: Tinta Merah

Awal tahun 2009 sebenarnya dimulai dengan segumpal harapan besar. Indonesia yang tinggal landas setelah pesta demokrasi parlemen usai dan pemilihan umum langsung presiden dan wakil presiden di depan mata.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
Catatan Akhir Tahun: Tinta Merah
Hukumonline

Peta politik sudah cukup jelas arahnya. Masyarakat melek politik, dan paham betul mana Pandawa mana Kurawa. Agenda anti korupsi yang sepenuhnya ada di kendali KPK berjalan sesuai harapan para penggiat anti korupsi, para pebisnis bersih dan khalayak umumnya. Tidak idealnya komposisi pimpinan KPK karena campur tangan politik masih bisa diimbangi oleh program pencegahan dan pemberantasan yang efektif di bawah pimpinan Chandra Hamzah dan kawan-kawan dengan dukungan “kelas menengah” KPK yang solid. Perkara-perkara “tunggakan” warisan pimpinan KPK jilid satu merupakan “bola sodor” yang segera diceploskan oleh Chandra dan pasukan eksekutor KPK dengan cukup efektif.

 

“Pembiaran” oleh SBY, dukungan oleh sedikit kalangan birokrasi, terutama Menkeu yang menjalankan reformasi birokrasi di Depkeu dengan sedikit tangan besi, merupakan catatan positif pelaksanaan agenda anti korupsi pemerintahan SBY yang akan segera tutup buku. Jadi sampai kwartal pertama 2009, rapor SBY untuk agenda anti korupsi bisa dibilang cukup baik.

 

Kebebasan pers terus berlangsung di bawah pemerintahan SBY, yang juga memberikan catatan positif di sepanjang tahun. Sebagian besar, tentu karena laju kebebasan pers tidak bisa direm oleh siapapun, termasuk oleh penguasa. Media bisa jadi senjata, bisa juga jadi senjata makan tuan. Pilihannya teruskan atau bisa dijatuhkan. Jadi meskipun dianggap kebablasan, demokrasi melalui media sangat dibutuhkan sekaligus dianggap duri dalam daging oleh banyak pihak. Bagaimana kita belajar berdemokrasi bisa dilihat dari cara kita menyikapi pemberitaan media. Menerima dengan bijak, menggunakan hak balas dengan elegan, marah dan menggunakan media lain untuk menyerang balik, memberi somasi, atau malah melaporkan ke polisi dan menggugat dengan dasar pencemaran nama baik. Buat media, dengan makin pintarnya masyarakat memilih, semakin tinggi kesadaran buat mereka untuk menjadi media yang baik dengan memberitakan media dan features yang bisa diterima oleh masyarakat. Sebagian media adalah bisnis belaka. Pilihan-pilihannya karenanya tak lepas dari hitungan profitabilitas atau setidaknya survivalitas.

 

“Keliaran” media jadi ada batasnya. Yang liar dan memuat dusta akan mati dengan sendirinya, karena hukum alam atau pilihan oleh pasar betul-betul berlaku. Sedikit pengecualian mungkin terjadi, dimana biaya memodali media dijadikan sekedar sebagai ongkos politik oleh pemiliknya. Di sini prinsip kejujuran dan keseimbangan pemberitaan bukan soal lagi. Di sini merupakan kuburan karakter siapa saja yang dianggap musuh atau penghalang bagi kepentingan politik si pemilik atau kroninya. Ini terjadi di depan mata kita setiap menit, di layar kaca, media internet dan media cetak. Pada akhirnya, masyarakat akan terbuka mata hatinya untuk menilai yang seperti ini. Gusti Allah mboten sare, masyarakat akan dibangunkan dari tidurnya.  

 

Di awal tahun, catatan ekonomi juga tidak buruk, bahkan mengundang pujian dari banyak pengamat sebagai salah satu ekonomi yang berdaya tahan tangguh terhadap dampak krisis global. Kalau mau diambil perspektif hari ini, ini mungkin karena akibat positif dari kebijakan penuh kehati-hatian dari Menkeu Sri Mulyani (SMI) dan Gubernur BI Boediono termasuk keputusan mereka dalam mengeluarkan kebijakan penyelamatan sistem perbankan melalui penyerahan Bank Century dan penanganannya oleh LPS. Tidak ada yang bisa betul-betul melakukan prediksi tepat mengenai kondisi makro ekonomi suatu negara karena beragamnya faktor pembentuk kondisi tersebut. Yang jelas, bila kondisi sekarang baik, artinya kebijakan yang ditempuh waktu itu, kecuali karena kebetulan-kebetulan karena keajaiban, sudah pasti baik dan konstruktif. Kalau kondisi ekonomi sekarang jelek, mungkin saja kebijakan yang ditempuh baik tetapi memang krisis dunia terlalu berdampak negatif untuk kita, atau mungkin karena jelas-jelas kebijakan yang ditempuh salah. Melihat rekam jejak Boediono dan SMI, kita bisa yakin bahwa integritas, keahlian, iktikad baik, dan kecepatan mereka menangani krisis merupakan keputusan yang baik, penuh perhitungan dan dengan satu tujuan, menyelamatkan ekonomi bangsa, dan menghindari kita dari, sekali lagi, keterpurukan ekonomi.

 

Dari segi ini saja, kebijakan ekonomi pemerintahan SBY bisa dikatakan konservatif dan cukup baik pada situasi krisis. Perdebatan hari ini mengenai apakah terjadi atau tidak terjadi krisis pada waktu itu kiranya sangat menggelikan. Para pengamat ekonomi dan politisi pada akhir 2008 dan awal tahun 2009 begitu paniknya sehingga mereka meminta agar pemerintahan SBY betul-betul turun tangan mencegah krisis, memperhatikan ketahanan ekonomi nasional dan memperhatikan kepentingan pelaku bisnis supaya tidak mati, dan menggelontorkan dana kemiskinan untuk lapisan terbawah. Ketika sejumlah kebijakan diturunkan untuk memperkokoh ketahanan tersebut, termasuk memperbaiki sistem perbankan lewat penyerahan BC kepada LPS, pemerintah terutama SMI mendapat pujian beruntun karena dianggap cepat tanggap terhadap situasi yang memburuk di seluruh dunia. Tidak heran kalau SMI beberapa kali mendapat julukan Menkeu terbaik di dunia oleh sejumlah organisasi internasional.

Halaman Selanjutnya:
Tags: