Clearing House Barang Cetakan Dipermasalahkan
Berita

Clearing House Barang Cetakan Dipermasalahkan

Seharusnya Clearing House hanya berwenang mengawasi, bukan menindak. Ketertiban umum selalu menjadi rujukan pelarangan buku.

Oleh:
Sam
Bacaan 2 Menit
<i>Clearing House</i> Barang Cetakan Dipermasalahkan
Hukumonline

Sejalan dengan maraknya isu pelarangan buku, eksistensi dan cara kerja ‘Clearing House’ dikritik sejumlah kalangan. Forum lintas instansi atau antar departemen yang bertugas meneliti dan mengkaji barang cetakan itu dinilai sering dinilai kebablasan. Hasil penelitian dan kajian Clearing House itulah yang dijadikan rujukan Kejaksaan untuk melarang peredaran buku di masyarakat.

 

Mantan anggota Komisi III DPR, Nursyahbani Katjasungkana berpendapat Clearing House sudah melenceng dari tugas dan wewenangnya. Tim ini hanya berwenang mengawasi barang cetakan, khususnya buku. Sebaliknya, tidak berwenang melakukan tindakan apalagi memutuskan untuk melarang peredaran buku. Lagipula, alasan pelarangan buku selama ini tidak jelas.

 

Nursyahbani melihat keputusan Kejaksaan melarang lima buku terakhir tidak didasarkan pada argumentasi yang cukup. Pelarangan bisa saja dibenarkan asalkan buku tersebut benar-benar menyebarluaskan kebencian rasial, agama dan golongan. Bisa juga karena berisi propaganda kekerasan dan perang. Tetapi, pelarangan tidak bisa dilakukan melalui proses yang tidak akuntabel, tidak transparan, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

 

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto mengatakan pelarangan buku disebabkan peredaran buku-buku tersebut menganggu ketertiban umum. Di mata Nursyahbani, alasan ‘menganggu ketertiban umum’ tidak bisa dibenarkan. Kejaksaan Agung, kata dia, salah menafsirkan kewenangan yang diberikan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

 

Musdah Mulia, peneliti dari Indoseian Conference on Religion and Peace (ICRP), meminta Kejaksaan Agung lebih fokus pada tugas dan wewenang utamanya ketimbang masuk ke wilayah yang abu-abu seperti pelarangan buku. Clearing House –dimana Kejaksaan menjadi salah satu unsur—seharusnya hanya bertindak sebagai pengawas. Rekomendasi pelarangan buku oleh Clearing House yang ditindaklanjuti Kejaksaan berdampak buruk bagi kebebasan berekspresi. Dengan dalih menganggu ketertiban, sewaktu-waktu Pemerintah bisa melarang buku. Ironisnya, alasan spesifik pelarangan tidak pernah dijelaskan.

 

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution malah spesifik meminta perombakan Clearing House. Sebab, selama ini buku-buku yang direkomendasikan untuk dilarang adalah buku yang kontra kepada Pemerintah. Masyarakat sipil jangan hanya menolak pelarangan. Menurut Buyung, upaya mereformasi Clearing House juga perlu dilakukan. “Jangan aksi penolakan terhadap larangan saja. Kita harus sampai ke akarnya dan dibongkar kembali semua itu," ujar Buyung.

 

Reformasi Clearing House dimaksudkan agar ke depan pelarangan buku tidak dilakukan sembarangan. Pelarangan buku harus didasarkan pada alasan yang spefisik dan jelas, serta dilakukan melalui jalur hukum. Nursyahbani Katjasungkana malah mengatakan pelarangan harus dilakukan lewat pengadilan yang terbuka.

 

Jika kebijakan pelarangan buku dan perombakan Clearing House tidak dilakukan, Nursjahbani dan sejumlah tokoh berencana mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang No. 16 Tahun 2004.

Tags: