PHK Wartawan Suara Pembaruan Cacat Hukum
Berita

PHK Wartawan Suara Pembaruan Cacat Hukum

AJI Indonesia menyerukan agar pelaku pemberangusan kebebasan berserikat, khususnya di perusahaan media, ditangkap dan dihukum sesuai UU yang berlaku.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Kuasa hukum wartawan menilai pemecatan sebagai bentuk <br> penghalangan kebebasan berserikat. Foto: Sgp
Kuasa hukum wartawan menilai pemecatan sebagai bentuk <br> penghalangan kebebasan berserikat. Foto: Sgp

Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta pimpinan Sapawi kembali menggelar sidang gugatan PHK wartawan Suara Pembaruan, Budi Laksono, Kamis (21/1). Sidang kali ini  mengagendakan pembacaan duplik kuasa hukum Budi dari LBH Pers yang menyatakan alasan PHK cacat hukum. 

 

“UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengharuskan adanya proses bipartit (musyawarah tingkat perusahaan, red). Ternyata proses ini tak ditempuh. Karenanya, SK Direksi Suara Pembaruan tertanggal 23 Februari 2009 tentang PHK kita anggap cacat hukum,” kata salah satu kuasa Budi, Sholeh Ali usai sidang.

 

Menurut Ali, demikian Sholeh Ali disapa, anjuran Sudinakertrans Jakarta Timur yang menyatakan pemecatan Budi batal demi hukum, dinilai sudah tepat. Sebab, selain tanpa melalui bipartit, PHK yang dilakukan belum memperoleh penetapan dari PHI. Karenanya, Sudinakertrans menyarankan agar perusahaan kembali mempekerjakan Budi. “Saya sepakat dengan anjuran yang menuntut agar Budi bekerja kembali sebagai wartawan.” Budi sendiri tercatat sebagai Ketua Serikat Pekerja Suara Pembaruan.

 

Ali menegaskan pihaknya telah dua kali mengundang perusahaan lewat surat tertanggal 4 Agustus dan 8 September 2009. Namun, perusahaan tak pernah hadir tanpa alasan yang jelas. “Budi membuat surat dua kali, tak ditanggapi. Tak puas, surat undangan tertanggal 8 April 2009 mengatasnamakan pengurus serikat perusahaan juga tak datang,” ujar Kepala Divisi Litigasi LBH Pers itu. 

 

Terkait dengan sanksi surat peringatan (SP) yang pernah dijatuhkan sebelumnya kepada Budi, lanjut Ali, sudah kadaluwarsa. Sebab, SP-2 yang diterbitkan pada 24 Juli 2008 telah melebihi 6 bulan sejak SP-1 dikeluarkan pada 7 Januari 2008. Demikian pula, SP-3 yang dijatuhkan pada 6 Februari 2009 telah melewati 6 bulan dari SP-2. Terlebih, sebulan setelah SP-1 terbit kliennya telah memiliki kinerja yang baik. Karenanya, SP yang dijatuhkan cacat hukum. “Surat peringatan Budi lebih dari enam bulan atau daluwarsa. Maka kalau daluwarsa SP mulai dari awal lagi.”          

 

Terkait tuduhan mangkir selama 19 hari selama 5-23 Februari 2009, Sholeh berdalih sesuai Pasal 170 UU Ketenagakerjaan dapat dikatakan tindakan mangkir harus dibuktikan dengan surat panggilan secara patut dan tertulis. Faktanya, Budi belum pernah menerima surat panggilan dari perusahaan. Parahnya lagi, SP3 dengan tuduhan mangkir dikeluarkan pada 6 Februari 2009.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait