Boy Mardjono, Soe Hok-Gie, dan Keadilan Bagi Orang Miskin
Profil

Boy Mardjono, Soe Hok-Gie, dan Keadilan Bagi Orang Miskin

Semasa hidupnya, Soe Hok-Gie pernah mengungkapkan keprihatinannya atas hukum dan keadilan, lalu bercerita tentang Boy Mardjono dan Yap Thiam Hien.

Oleh:
Mys/Amr-Klinik
Bacaan 2 Menit
Mardjono Reksodiputro. Foto: Sgp
Mardjono Reksodiputro. Foto: Sgp

Suasana Jakarta masih mencekam. Pembersihan orang-orang yang terlibat PKI masih terus berlangsung di setiap sudut, tak terkecuali kampus. Ruang tahanan penuh sesak. Banyak yang mati sia-sia, tanpa melalui proses peradilan. Nyawa seolah tak ada artinya akibat dendam kesumat perbedaan ideologi. Sebelum dikubur, mayat-mayat korban dikirim ke rumah sakit, dan beberapa kali mampir ke Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.

 

Sosok mayat yang dikirim kali ini menggugah Mardjono Reksodiputro, dosen muda yang diminta mengepalai Lembaga Kriminologi tadi. Sosok mayat mengerikan. Beratnya hanya sekitar tiga puluh kilo. Kurus dan tulang pipinya sudah menyatu dengan kulit. Polisi, yang mengantar mayat, mengatakan mayat tersebut adalah orang gila dan menolak makan di penjara.

 

Mardjono muda penasaran. Pemeriksaan dilakukan. Ternyata, pria yang sudah menjadi mayat tadi bukan tidak mau makan seperti kata pak polisi. Ia menderita penyakit mulut. Kalaulah polisi berbaik hati membawa pria itu ke dokter, mungkin hasilnya lain. Rupanya, polisi mengabaikan laporan-laporan si pria. Walhasil, ajal menjemputnya di ruang tahanan.

 

Kala itu, suasana memang masih mencekam. Adalah lumrah para tahanan mati kelaparan di tahanan. Mereka tidak dipedulikan, menunggu perkaranya berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hingga ajal menjemput. Begitu tahanan mati, namanya dicoret begitu saja. Apakah ia salah satu tahanan yang diduga terlibat aksi G.30.S? Tak ada jawaban pasti.

 

Cerita tentang kiriman mayat tadi mengingatkan kembali memori Mardjono Reksodiputro tentang sosok Soe Hok-Gie. Kepada Hok-Gie pula cerita tentang mayat tak bernama itu disampaikan. Hok-Gie lantas menuangkan pertemuannya dengan Mardjono muda dan kisah tentang mayat tadi di Majalah Mahasiswa, edisi Jabar 7 Juli 1969. Ia menggambarkan Mardjono, Kepala Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia itu, sebagai sosok yang “masih muda dan serius kalau bekerja”.

 

Tentu saja, Mardjono tak muda lagi. Lahir di Blitar pada 13 Maret, kini ia sudah melewati usia 70 tahun. Gelar profesor sudah lama diraihnya, dan puluhan tahun ia berkecimpung di dunia akademik. Sederet jabatan pernah ia pegang di kampus.

Tags: