Adu Ahli dalam Pengujian UU Penodaan Agama
Berita

Adu Ahli dalam Pengujian UU Penodaan Agama

Ada yang menyatakan UU Penodaan Agama bertentangan dengan UUD 1945. Ada yang berpendapat UU Penodaan Agama justru melindungi kebebasan beragama.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Adu Ahli dalam Pengujian UU Penodaan Agama
Hukumonline

Penerapan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama mengundang diskriminasi dan memicu ketegangan di tengah masyarakat, sehingga melukai rasa keadilan sekelompok orang, maka sudah selayaknya UU itu ditinjau ulang. Memenjarakan seseorang hanya karena menganut atau meyakini agama tertentu dan dianggap menyimpang, adalah tindakan keji yang bertentangan dengan konstitusi.

 

Pendapat itu disampaikan Lutfie Assyaukanie, Dosen Filsasat Kajian Keagamaan Universitas Paramadina, saat diperiksa sebagai ahli yang diajukan pemohon dalam sidang pengujian UU No. 1/PNPS/1965 di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (17/2). Selain Lutfie, turut diperiksa pula saksi ahli dari pemerintah diantaranya Kabalitbang Diklat Kemenag Prof. Atho Mudzhar, dan Guru Besar Hukum Pidana UII Yogyakarta Mudzakkir.

 

Di hadapan majelis MK, wakil pemerintah selaku termohon, dan pihak terkait dari DDII, NU, MUI, Lutfie menuturkan iman dan keyakinan merupakan urusan setiap individu dimana negara tak dibenarkan ikut campur. “Persoalan utama dalam UU Penodaan Agama adalah negara/pemerintah terlalu ikut campur dalam urusan agama. Atas dasar apa negara melindungi agama tertentu dan mengabaikan atau mengkriminalisasi agama atau aliran lain?” kata Lutfie.  

 

Ia menyadari karena alasan realitas sejarah politik, negara terlanjur memiliki hubungan yang kompleks dalam persoalan ini. Namun, jika negara ikut campur menentukan mana agama yang salah atau benar bukanlah kewenangannya. Terlebih, dalam UUD 1945 tak melarang atau membatasi jumlah agama, aliran atau sekte.

 

Penjelasan UU Penodaan Agama, kata Lutfie, memberi ancaman penjara bagi pemeluk agama selain enam agama dan empat aliran kepercayaan yang diakui pemerintah. Menurutnya, aturan itu jelas bersifat diskriminatif dan menodai rasa keadilan. Sebab, setiap agama berhak memiliki pandangan tertentu tentang agama lain. Sama halnya, ketika MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap agama lain, Syiah menganggap pengikut Sunni sesat, Kristen menganggap Islam sesat atau sebaliknya.

 

Ia mengutip Pasal 1 UU Penodaan Agama yang melarang setiap orang menceritakan, menganjurkan, atau menafsirkan sesuatu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Ia tak abis berpikir alasan pembuat UU membuat klausul seperti itu. Pasalnya, seluruh sejarah agama adalah sejarah penafsiran. “Islam bermula dari ajaran yang sederhana, penafsiranlah yang membuatnya jadi 'kaya' dan kompleks dengan munculnya berbagai mazhab.”  

Tags:

Berita Terkait