Revisi UU Perlindungan Anak Kedepankan Diversi
Berita

Revisi UU Perlindungan Anak Kedepankan Diversi

Hakim harus menjadikan hukuman perampasan kemerdekaan sebagai ultimum remedium

Oleh:
DNY
Bacaan 2 Menit
Revisi UU Perlindungan Anak Kedepankan Diversi
Hukumonline

Kementerian Hukum dan HAM diketahui tengah menyusun revisi terhadap Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Penggodokan itu penting lantaran revisi Undang-Undang ini memang masuk daftar Program Legislasi Nasional 2010. Judul revisi sementara adalah Undang-Undang Tentang Sistim Peradilan Pidana Anak (SPPA).

 

Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia, Harkristuti Harkrisnowo, menilai ada banyak celah hukum dalam UU No. 3 Tahun 1997. Antara lain tidak memberikan ruang terhadap kemungkinan diversi, dan sifat hukuman perampasan sebagai ultimum remedium yang belum tercantum.

 

Poin terakhir penting dimasukkan karena, menurut Harkristuti, mayoritas anak yang berhadapan dengan hukum, terutama yang dibawa ke sistim peradilan pidana, tetap dihukum dengan merampas kemerdekaannya. Padahal kalau anak-anak berada di dalam penjara, hak-hak mereka yang dijamin Undang-Undang Perlindungan Anak banyak yang tidak terpenuhi. Apalagi, karena keterbatasan jumlah rumah tahanan dan lapas, anak-anak sering digabung dengan tahanan dewasa.

 

Nah, revisi UU Pengadilan Anak akan memuat klausula yang mendorong anak-anak tidak perlu menjalani proses pidana. RUU ini, kata Harkristuti, menganut paradigma restorative justice. Diversi menghindarkan anak dari proses formal peradilan pidana. Melalui model diversi ini, aparat penegak hukum untuk semua tingkatan proses wajib mengedepankan penyelesaian di luar peradilan pidana. Tetapi, diversi juga dapat dilakukan oleh masyarakat dengan cara mendamaikan kedua belah pihak: korban dan pelaku.

 

Dikatakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu, pada dasarnya diversi bertujuan untuk mencegah anak masuk ke dalam sistem peradilan anak. Namun, diversi hanya dapat dilakukan dengan izin korban dan keluarga korban, serta kesediaan dari pelaku dan keluarganya. Karena itu, RUU SPPA masih memungkinkan dijalankannya mekanisme formal pengadilan. Sanksi pidana, termasuk pidana penjara masih menjadi rezim dari RUU ini. Selain sanksi pidana, RUU ini membuka kemungkinan melakukan tindakan tertentu sebagai hukuman untuk anak.

 

Harkristuti berharap, sistim peradilan pidana anak yang baru akan berdampak pada berkurangnya jumlah anak yang masuk dalam proses peradilan pidana, khususnya dalam Lembaga Pemasyarakatan. Selain itu, RUU SPPA juga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi publik dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, serta peningkaan kepekaan aparat penegak hukum akan hak-hak anak.

Halaman Selanjutnya:
Tags: