MA Belajar dari Belanda Cara Membatasi Perkara
Utama

MA Belajar dari Belanda Cara Membatasi Perkara

Di Belanda, ada sebuah komisi khusus yang menentukan apakah sebuah perkara bisa diajukan ke MA atau tidak. Sedangkan, di Indonesia, Ketua MA meminta pembatasan perkara secara tegas diatur dalam UU.

Oleh:
Ali/DNY
Bacaan 2 Menit
Pembatasan perkara di MA perlu diperketat. Foto: Sgp
Pembatasan perkara di MA perlu diperketat. Foto: Sgp

‘Belajarlah sampai ke negeri China’. Petuah itu mungkin sudah sering kita dengar. Namun, bagi Mahkamah Agung (MA), negara tujuan mungkin diubah ke Belanda. Para petinggi MA memang tak perlu repot-repot menyambangi negeri kincir angin tersebut. Ketua MA Belanda sendiri yang hadir ke Indonesia untuk bertukar pikiran seputar masalah hukum di negeri masing-masing.

 

Ketua MA Harifin A Tumpa mengatakan kedatangan Ketua MA Belanda itu diisi dengan diskusi-diskusi seputar permasalahan hukum. “Diskusinya sangat hangat karena memang topiknya menarik,” tuturnya. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pembatasan perkara di MA. 

 

Di Belanda, jelas Harifin, pembatasan kasasi dilakukan oleh suatu komisi yang bertugas menyeleksi perkara-perkara yang dimohonkan, apakah perkara itu layak dikasasi atau tidak. “Tugas itu dilaksanakan oleh komisi khusus,” jelasnya kepada wartawan.

 

Harifin mengatakan, di Indonesia, memang belum ada aturan yang bisa membatasi perkara. Namun, ia berharap ke depan ada aturan yang mengatur hal tersebut, apa perkara yang boleh dikasasi dan apa perkara yang tak bisa dikasasi. “Kalau dilakukan oleh komisi nanti menjadi perdebatan, ukurannya apa?” tukasnya.

 

Bila dinyatakan dalam sebuah UU, lanjut Harifin, ukurannya akan  menjadi jelas. “Misalnya, pidana yang ancaman minimumnya 1 tahun tak boleh dikasasi,” tuturnya. Para hakim tentu juga harus konsisten, bila putusan praperadilan tak bisa dikasasi maka tentu harus dilaksanakan. “Kalau UU melarang, tidak boleh,” tuturnya.

 

Sekedar mengingatkan, ide ini memang bukan hal yang baru. Ketua MA sebelum Harifin, Bagir Manan pernah mengutarakan hal senada. Menurutnya, reformasi peradilan di MA belum selesai. Salah satu yang harus diperjuangkan adalah pembatasan perkara lewat sebuah UU. Caranya, membuat sebuah pengadilan kecil. Fungsinya, untuk menangani perkara-perkara perdata yang nilainya kecil. Sehingga perkara semacam itu tak perlu diselesaikan ke MA. “Acaranya sederhana. Hakimnya tunggal dan tanpa pengacara,” ujar Bagir kala itu.

Tags: