Seleksi Komisioner KPK, Merajut Masa Depan
Tajuk

Seleksi Komisioner KPK, Merajut Masa Depan

Lebih dari 9 tahun lalu, tepatnya tanggal 19 Februari 2001, saya menulis di Tajuk www.hukumonline.com dengan judul “Letusan Merapi dan Korupsi”.

Oleh:
Ats
Bacaan 2 Menit
Seleksi Komisioner KPK, Merajut Masa Depan
Hukumonline

Oleh teman-teman di Masyarakat Transparansi Indonesia, tulisan itu dimuat ulang dalam kumpulan tulisan saya yang mereka terbitkan  pada tahun 2003 dalam bentuk buku dengan judul Hukum, Demokrasi & Etika. Saya kira tulisan itu masih bisa dilihat dalam online file hukumonline. 

 

Di situ saya mencoba menggambarkan sosok ideal Ketua KPK melalui khayalan seorang teman. Rasanya gambaran tersebut tidak terlalu jauh berubah, karena harapan akan negara yang bebas korupsi masih tetap pekat di udara Indonesia yang masih terus berubah. Bedanya tentu, pada waktu itu kita masih menggulirkan upaya reformasi dengan struktur politik nasional yang masih mudah dibentuk. Waktu itu euphoria reformasi masih mampu membentuk struktur yang seperti tanah liat untuk menjadi bentuk ideal yang ingin kita ciptakan bersama. Kelas menengah Indonesia masih menggebu melakukan perubahan, dan eksponen Orde Baru masih luruh bertiarap karena khawatir menjadi sasaran tembak yang telak bila menjadi penghadang perubahan. Dosa-dosa mereka masih mengalir dari luka bangsa yang belum mengering.

 

Lebih dari 9 tahun yang lalu telah berlalu. Dengan segala upaya dan dinamika politik yang terjadi, sampailah kita pada bentuk negara dan masyarakat dengan struktur politik saat ini. Suatu lompatan yang cukup jauh memang, tetapi sungguh bukan hasil yang cukup menggembirakan. Coba kita tengok apa yang kita punya sekarang. Saya suka sekali dengan teori sistem integritas nasionalnya Jeremy Pope dan kawan-kawan dari organisasi yang chapter Indonesianya juga ikut saya dirikan di Indonesia, yaitu Transparency International.

 

Cuma, belakangan saya agak skeptis dengan penerapan teori itu di Indonesia, kalaupun memang sengaja diterapkan. Kelemahannya tergali dari tidak maksimalnya kinerja pilar-pilar sistem itu, atau bisa jadi karena kurangnya independensi mereka, yang bisa terjadi karena banyak alasan, seperti budget yang kurang atau dikerdilkan dengan sengaja atau tidak sengaja, pemimpin yang salah pilih atau sengaja dipilih yang lemah dan mudah dikooptasi, institusi yang tidak dibangun, gaji rendah, profesionalisme kurang, tekanan politik dari elit, tidak adanya kesadaran bahwa pilar-pilar tersebut kalau efektif dibangun dan saling taat azas konstitusi akan menjadi fondasi yang kuat untuk bangunan negara demokratis, dan sederet panjang alasan lainnya.

 

Yang kita punyai sekarang setelah mencoba merubah bangunan dan sistem kenegaraan serta institusi Negara kira-kira begini: (a) pemilihan umum memang menghasilkan proses yang demokratis, tetapi dengan kondisi pemilih mayoritas yang kurang terdidik, hasilnya adalah pilihan mayoritas atas politik pencitraan yang berhasil; (b) parlemen yang sebetulnya lahir dari proses demokratis menjadi suatu pilar yang tidak fokus pada tugas utamanya, proses legislasi untuk kepentingan publik, tetapi lebih berkembang menjadi badan pengawas eksekutif yang menyeramkan; (c) eksekutif terbelenggu oleh proses politik yang sangat tidak transparan, sehingga terkesan kuat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seringkali dianggap punya agenda ganda atau takluk pada ancaman anggota koalisi, utamanya Golkar, untuk alasan yang banyak dicurigai karena “transaksi” masa lalu atau bahkan untuk “transaksi” ke masa depan; (d) penegak hukum kecuali KPK menunjukkan institusi, dan orang-orang yang belum direformasi, mereka hanya berubah baju, wacana, sistem, dan program, tetapi kedalam masih memunculkan praktek korup yang terorganisir rapi; (e)  peradilan memang katanya sedang direformasi, tetapi hasil reformasi hanya terlihat kalau tidak ada korupsi lagi di peradilan, dan putusan pengadilan menunjukkan mutu yang tinggi berdasarkan “merit of the case”, pada kenyataannya dua unsur minimal tersebut belum ada; (f) “watchdog agencies” seperti BPK dan BPKP kita ketahui sangat dipolitisir (lihat kasus Century), dan Ombudsman Republik Indonesia sangat terbatas kewenangannya untuk meneruskan keluhan publik menjadi kasus yang harus dilanjuti; jadi satu-satunya “watchdog agency” yang juga penegak hukum yang efektif bekerja adalah KPK yang berjuang sendirian mencegah dan memberantas korupsi, (g) media dan masyarakat madani yang merupakan pilar-pilar terakhir dari proses demokratisasi kerap diombang-ambingkan oleh informasi menyesatkan yang sengaja dilontarkan oleh mereka yang melakukan perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi.

 

Dengan kondisi seperti itu, maka sangat menyedihkan bahwa kita berada di medan perang yang gelap, pasukan yang cerai berai, persenjataan yang minim, dan tanpa pendukung pemberi semangat. Yang bisa diandalkan untuk meneruskan banyak agenda reformasi hanya tersisa KPK, sebagian media manakala issue-nya menarik halaman muka mereka, dan sebagian lembaga swadaya masyarakat manakala mereka mengerti bahwa issue-nya dapat mereka bawa menjadi wacana publik yang menarik perhatian. Contoh menarik adalah kasus Century, dimana kebijakan bail-out disalahkan secara politis oleh DPR, dan dipercaya sebagai kebijakan yang salah oleh sebagian media, LSM dan politikus.

Halaman Selanjutnya:
Tags: