Kesiapan Indonesia dalam Pertemuan G-20 Tergantung Perbaikan UU Pencucian Uang
Berita

Kesiapan Indonesia dalam Pertemuan G-20 Tergantung Perbaikan UU Pencucian Uang

Rendahnya komitmen anti pencucian uang Indonesia dapat berpengaruh pada mahalnya biaya transaksi perbankan.

Oleh:
CR-9
Bacaan 2 Menit
Kesiapan Indonesia dalam Pertemuan G-20 Tergantung Perbaikan UU Pencucian Uang
Hukumonline

Perbaikan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) akan menentukan kesiapan Indonesia menghadapi Konferensi G-20 bulan November 2010 di Seoul, Korea Selatan nanti. Berdasarkan hasil penilaian Financial Action Task Force on Money laundering (FATF), Indonesia berada pada kriteria prima facie. Dengan kriteria ini, Indonesia dianggap masih memiliki kelemahan signifikan dalam komitmen anti pencucian uang.

 

Rendahnya komitmen pencucian uang, menurut Ketua Kelompok kerjasama Luar Negeri PPATK, Djoko Kurnijanto, sangat berpengaruh pada Indonesia. Salah satunya, transaksi perbankan di Indonesia menjadi lebih mahal. “Ada biaya tambahan. Akibatnya, nasabah lebih suka bertransaksi dengan bank asing yang ada di sini,” lanjutnya saat ditemui di Bogor, Sabtu (31/7).

 

Karena itu, lanjut Djoko, Indonesia akan meningkatkan komitmennya melalui perbaikan UU TPPU. “Kuncinya perbaikan aturan. Kelemahan-kelemahan tersebut diselesaikan melalui undang-undang,” jelasnya.

 

Fithriadi Muslim, Kepala Kelompok Regulasi PPATK, menjelaskan ada beberapa perbaikan dalam RUU TPPU dibanding aturan sebelumnya, yaitu UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No.25 Tahun 2003. “Ada beberapa ketentuan baru,” tambahnya.

 

Ketentuan baru tersebut, menurut Fithriadi, memperluas beberapa jerat hukum bagi tindakan pencucian uang. Unsur pidana pencucian uang lebih disederhanakan agar proses pembuktiannya lebih mudah.

 

Selama ini penegak hukum jarang menggunakan UU TPPU untuk kasus pencucian uang. Fithriadi menyebutkan sering terjadi perdebatan tentang tafsir pencucian uang. Ia memberi contoh Pasal 3 ayat (1) UU No.15/2002 jo UU No.25/2003 yang memiliki banyak poin. “Seringkali penyidik menemukan unsur yang sama dalam beberapa poin a-g Pasal tersebut,” ungkapnya.

 

Kesulitan ini menyebabkan penyidik dan penuntut umum lebih suka memakai aturan selain undang-undang tersebut. “Misalnya UU Korupsi saja,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: