Yusuf Shofie:
Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability
Profil

Yusuf Shofie:
Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability

Lebih dari sepuluh tahun Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berlaku, nyaris tak ada terdengar putusan pengadilan yang menghukum korporasi.

Oleh:
Dny
Bacaan 2 Menit
Yusuf Shofie Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability. <br> Foto: Sgp
Yusuf Shofie Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability. <br> Foto: Sgp

Padahal, hubungan hukum konsumen dan produsen begitu dinamis. Keluhan konsumen terus muncul baik lewat media massa maupun lembaga konsumen swadaya masyarakat. Apakah ada yang salah dalam sistim peradilan kita sehingga korporasi selalu lolos dari jerat pidana? Persoalan inilah yang coba dijawab Yusuf Shofie. Pengalaman pria kelahiran 13 Mei 1968 ini bekerja di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membuatnya berhadapan dengan banyak keluhan konsumen. Tak mengherankan sejak pendidikan magister hingga doktor ilmu hukum, ia memfokuskan diri pada hukum perlindungan konsumen.

 

Dalam disertasi yang dipertahankan 19 Juni lalu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yusuf Shofie mengupas tanggung jawab korporasi dalam tindak pidana perlindungan konsumen di Indonesia. Ada 36 perkara yang diteliti ayah dua anak ini. Banyak pelanggaran pidana yang kasat mata, namun UU Perlindungan Konsumen tidak dijalankan secara konsisten. Ia berpendapat bahwa asas societas delinquere non-potest (korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana) yang selama ini dianggap berakar pada budaya peradilan dan kesadaran masyarakat tidak dapat lagi dipertahanan.

 

Hukumonline berkesempatan mewawancarai pria kelahiran Yogyakarta ini di kampus Yarsi Jakarta Pusat bebepa hari setelah ia mempertahankan disertasi doktoral. Ia bercerita tentang strict liability dan vicarious liabity dalam perlindungan konsumen. Berikut petikannya:

 

Apa yang mendasari Anda melakukan riset tentang perlindungan konsumen?

Perhatian saya adalah pelaku, pada pelaku tindak pidana. Semua dalam riset saya, termasuk tesis saya terdahulu, fokusnya pada korban, dalam hal ini konsumen sebagai korban tindak pidana. Dari situ saya melihat ada sesuatu yang tidak beres. Korban sudah bicara banyak, respons penegak hukum masih seperti ini. Saya mencoba mencari tahu dan melihat bagaimana aparat penegak hukum itu memperlakukan pelaku usaha. Pelaku usaha bisa perorangan, bisa badan hukum. Dalam UU Perlindungan Konsumen (UUPK) ada korporasi. Korporasi itu kan kumpulan orang-orang. Dia bisa berbentuk badan hukum, bisa juga bukan badan hukum. Betapapun sederhananya proses produksi, selalu ada kumpulan orang. Siapa pengambil keputusan, siapa yang sekedar pelaksana, menjalankan perintah. Kalau dalam kasus biskuit kan kepala produksi hanya menjalankan perintah.

 

Artinya, saya mau melihat lebih jauh lagi bagaimana korporasi dipertanggungjawabkan. Saya telusuri kasus-kasus dari sebelum dan setelah adanya UUPK. Saya ingin melihat apakah dengan UUPK kita sudah memperbaiki posisi tawar konsumen. Terus apakah sudah mendidik pelaku usaha untuk bertanggung jawab. Seandainya pun dengan UUPK sudah membuat pelaku usaha bertanggung jawab, apakah mereka tetap dipertanggungjawabkan. Sebelum UUPK ada kekeliruan dalam penjatuhan putusan. Kita maklumi. Kan pengadilan tidak boleh menghukum sebelum ada undang-undangnya. Apalagi jika para pihak tidak mengajukan upaya hukum. Karena pidana ini pidana percobaan. Kalau enam bulan percobaan, atau setahun ya terima saja daripada kasasi nanti malah diperberat.

 

Dalam semua kasus yang saya kaji, pada umumnya menyebut kapasitas tertentu. Jadi terdakwa kapasitasnya apa dalam tahun 1950-an. Misalnya Ketua Pengusaha Industri Rokok. Berarti kan kapasitasnya disebutkan. Sampai di situ saya melihat bahwa pendirian pengadilan di Indonesia.  Pengadilan lebih ingin menunjukan ada hubungan atasan dengan bawahan. Hubungan atasan dengan bawahan terlihat pada doktrin vicarious liability. Vicarious liability ini doktrin dalam hukum perdata, untuk diaplikasi di dalam hukum pidana. Saya tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan hukum pidana adalah hukum pidana, hukum perdata, hukum perdata, hukum administrasi negara ya hukum administrasi negara. Itu pembedaan. Sarjana hukum kan tidak dibeda-bedakan. Coba lihat hukum perlindungan konsumen. Unsur pidana ada, administrasi negara juga ada. Sekarang ini kan harus tegas, mana yang administrasi negara. Di UUPK memang ada kekeliruan. Sanksi administrasi, bentuknya kok ganti rugi.

Tags: