Persoalan TKI Cermin Bobroknya Manajemen Dalam Negeri
Berita

Persoalan TKI Cermin Bobroknya Manajemen Dalam Negeri

Secara de facto, UU No 39 Tahun 2004 lebih banyak mengatur bisnis penempatan TKI dibanding mengatur perlindungan yang substansial bagi TKI.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
Persoalan TKI Cermin Bobroknya Manajemen Dalam Negeri
Hukumonline

Bekerja di luar negeri bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah pilihan utama untuk meningkatkan kesejahteraan. Bagi Pemerintah, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri merupakan salah satu jalan keluar untuk mengurangi jumlah pengangguran. Meski sering terjadi kegagalan dalam praktiknya, tak sedikit masyarakat yang ‘ngotot’ ingin bekerja di negeri orang.

 

Persoalan yang dihadapi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, seperti penganiayaan, gaji tidak dibayar, penipuan, tidak lepas dari permasalahan manajemen atau tata kelola TKI, dan permasalahan rendahnya sumber daya manusia (SDM) calon TKI yang dikirim ke luar negeri.

 

Namun dapat disimpulkan, 80 persen permasalahan TKI disebabkan ketidakberesan manajemen di dalam negeri yang dimulai dari proses penempatan (perekrutan, pelatihan) yang tidak mengikuti standar, penempatan tanpa pengawasan dari Kantor Perwakilan RI, dan perlindungan selama penempatan yang minimal.

 

Pemerintah sebenarnya telah membuat UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Kemudian, mengeluarkan Inpres No 6 Tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Penempatan dan Perlindungan TKI, disusul Perpres No 81 Tahun 2006 tentang Pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Namun, kebijakan ini terasa belum maksimal untuk melindungi TKI. Untuk itu, pemerintah berniat merevisi aturan yang ada, terutama UU No 39 Tahun 2004.

 

Menurut pakar hukum perburuhan dari Universitas Indonesia, Aloysius Uwiyono, ada beberapa persoalan yuridis yang dihadapi TKI di luar negeri antara lain, tidak adanya kepastian hukum dalam UU No 39 Tahun 2004. Menurutnya, ada beberapa ketentuan dalam UU tersebut yang subjek hukumnya tidak jelas.

 

Hal itu bisa dilihat dari adanya pasal-pasal yang inkonsisten antara yang satu dengan yang lain dan pasal-pasal yang mencerminkan ketidaksinkronan antara isi kaedah hukum dan sanksinya. “Harusnya si pelanggar kena sanksi pidana, tapi yang dikenakan malah sanksi administratif sehingga tidak mencapai sasaran,” ujarnya dalam diskusi di DPR.

 

Persoalan yuridis lainnya adalah ketidakefektivan hukum. Masalah ini disebabkan besarnya beban tanggungjawab yang harus dipikul Perusahaan Penempatan tenaga Kerja Indonesia (PPTKI). Dalam UU No 39 Tahun 2004, PPTKI diberi tugas melindungi TKI sejak pra penempatan, masa penempatan, bahkan hingga masa purna penempatan.

Tags: