Calon Advokat KAI Turut Uji Aturan Wadah Tunggal
Berita

Calon Advokat KAI Turut Uji Aturan Wadah Tunggal

Pemohon menilai frasa “satu-satunya” dalam Pasal 28 ayat (1) bertentangan dengan asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Taufik Basari, kuasa hukum pemohon. Foto: Facebook
Taufik Basari, kuasa hukum pemohon. Foto: Facebook

Setelah Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Frans Hendra Winata dan seorang advokat Kongres Advokat Indonesia (KAI) bernama Abraham Amos, sejumlah calon advokat dari KAI turut menguji UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Norma yang bakal diuji juga sama yakni Pasal 28 ayat (1) UU Advokat terkait pembentukkan wadah tunggal organisasi advokat.   

 

Calon advokat yang dimaksud yaitu Husen Pelu, Andrijana, Abdul Amin Monoarfa, Nasib Bima Wijaya, Siti Hajijah, R. Moch Budi Cahyono, Joni Irawan, dan Supriadi Budi Susanto. Mereka menilai Pasal 28 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 C ayat (1) dan (2), Pasal 28 D ayat (1) dan (2), Pasal 28 H ayat (1), Pasal 28 I ayat (2).      

 

“Kita baru saja daftarkan permohonan uji materi Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, khusus untuk frasa ‘satu-satunya’ yang diajukan Husen Pelu dkk yang merasa dirugikan dengan adanya frasa itu,” ujar salah satu kuasa hukum Husen dkk, Taufik Basari di Gedung MK, Selasa (30/11).   

 

Lengkapnya, Pasal 28 ayat (1) berbunyi, Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.”     

 

Untuk mengingatkan, pasca keluarnya SK KMA No. 089 akhir Juni lalu yang menetapkan Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat, konflik soal wadah tunggal organisasi advokat terus berlanjut.

 

Berbagai bentuk protes pun dilakukan oleh organisasi advokat di luar Peradi mulai dengan demonstrasi di Gedung MA, audiensi dengan Komisi III DPR, dan lewat jalur hukum dengan cara menguji UU Advokat. Pasalnya, advokat atau calon advokat di luar Peradi, semisal KAI, Peradin, merasa kesulitan beracara dan disumpah oleh Pengadilan Tinggi lantaran hanya Peradi yang diakui sebagai wadah tunggal.        

 

Taufik, yang akrab disapa Tobas itu, menuturkan perintah UU Advokat agar organisasi advokat harus dengan wadah tunggal menimbulkan ketidakpastian hukum, menghalangi hak pemohon menjalani profesinya dan memperoleh pekerjaan/penghidupan yang layak, serta melanggar hak berserikat. “Kita meminta makna Pasal 28 ayat (1) tidak harus wadah tunggal, tetapi bisa banyak organisasi,”     

 

Awalnya, cerita Tobas, ide pembentukan wadah tunggal organisasi adalah sesuatu yang ideal. Tetapi faktanya, norma itu bukan memberi manfaat justru malah menjadi sumber konflik. “Kita uraian juga sejarah panjang bagaimana para advokat membentuk organisasi advokat. Sejak dulu memang sudah diusahakan adanya wadah tunggal, tetapi upaya itu sering berujung konflik,” jelasnya.             

 

Tak sesuai

Tobas menilai frasa “satu-satunya” adalah ketentuan hukum yang tidak sesuai dengan asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum. Faktanya, banyak pihak yang merasa diperlakukan tidak adil. “Ketika undang-undang mengamanatkan membentuk wadah tunggal, bukan memberi manfaat bagi para advokat malah menimbulkan kerugian,” tegasnya.

 

SK MA No. 089 yang intinya menyatakan advokat yang disumpah harus dari Peradi, menurutnya tidak mengakomodir realitas yang ada. “Faktanya organisasi advokat lain selain Peradi masih eksis, memiliki anggota. Mereka tak bisa dipaksa untuk memilih organisasi tunggal yang ada karena mereka punya hak untuk berserikat dan berkumpul.”      

 

Ditambah lagi prinsip advokat adalah kebebasan dan kemandirian. Untuk itu, seharusnya yang menentukan bagaimana membentuk organisasi advokat adalah para advokat itu sendiri, bukan MA. Ia berandai-andai jika frasa “satu-satunya” dibatalkan berarti UU menyerahkan kembali kepada para advokat untuk menentukan bentuk organisasi advokat, multi bar association atau single bar association?     

 

“Nantinya biarlah penentuan bentuk organisasi advokat berjalan secara alamiah, kalau tidak mampu membentuk wadah tunggal tak usah dipaksakan. Di beberapa negara wadah tunggal tidak merupakan keharusan,” katanya.  

 

Karenanya, dalam permohonannya ditawarkan multi bar association dengan harapan mengakhiri perebutan wadah tunggal. “Jika multi bar association yang dipilih, tetapi dengan kode etik bersama, dewan kehormatan bersama secara tunggal, soal kepengurusan silahkan saja multi bar,” tambahnya.    

 

Terkait pengujian UU Advokat ini, sebelumnya Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan telah mengajukan diri untuk menjadi pihak terkait. “Surat ke MK sudah dilayangkan sekitar 10 hari yang lalu, kita ingin menjadi pihak terkait, sejauh ini belum dijawab,” kata Otto Hasibuan dalam sebuah acara seminar di Jakarta, Rabu (24/11) pekan lalu.   

  

Pertimbangan Peradi ingin menjadi pihak terkait agar MK memperoleh informasi yang cukup dan tepat terkait objek masalah yang diuji. Sebab, permohonan serupa pernah diuji oleh majelis MK generasi pertama pimpinan Jimly Asshiddiqie. Berdasarkan catatan hukumonline, sejumlah pengujian UU Advokat terkait ketentuan wadah tunggal memang terjadi di era Jimly dan putusannya ditolak.    

 

Otto berharap MK mempertimbangkan dampaknya jika pasal tentang wadah tunggal dihilangkan. Menurutnya, tanpa pasal itu maka akan timbul kesengsaraan bagi kalangan advokat, khususnya advokat muda atau bahkan calon advokat. “Kalau dihapus, lalu kewenangan pengangkatan advokat dipegang siapa? Apa kita kembali ke rezim lama (pengangkatan advokat oleh Pengadilan Tinggi, red.)?”

Tags: