APISI, Bertekad Lawan Pelarangan Buku di Sekolah
Komunitas

APISI, Bertekad Lawan Pelarangan Buku di Sekolah

APISI. Asosiasi ini bertujuan meningkatkan kompetensi dan profesionalitas para pekerja informasi di perpustakaan.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
APISI bertekad lawan pelarangan buku di sekolah, Foto: Sgp
APISI bertekad lawan pelarangan buku di sekolah, Foto: Sgp

Aksi melarang peredaran buku ternyata bukan hanya “monopoli” Kejaksaan. Aksi serupa juga dilakukan oleh pihak sekolah atau lebih tepatnya yayasan yang menaunginya. Di sebuah sekolah, misalnya, buku “Harry Potter” dilarang beredar di kalangan siswa. Alasannya, buku yang laris manis di seluruh dunia itu berisi cerita sihir yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai kristiani.

 

Pada kasus lain, sebuah sekolah Islam melarang buku yang di dalamnya terdapat karakter anjing dan babi. Fenomena pelarangan buku di sekolah adalah satu masalah yang harus dihadapi oleh Asosiasi Pekerja Informasi Sekolah Indonesia (APISI). Wakil Ketua APISI Sulfan Zayd mengatakan organisasinya telah berupaya melakukan advokasi kepada para pustakawan di sekolah-sekolah dimana kasus pelarangan buku terjadi.

 

Namun, kata Sulfan, pada akhirnya para pustakawan “terpaksa” berdamai dengan kondisi  yang terjadi. “Pada akhirnya, mereka tak bisa berbuat apa-apa karena itu memang kebijakan yayasan,” ujarnya.

 

Sulfan menerangkan APISI adalah salah satu asosiasi profesi penggiat perpustakaan yang ada di Indonesia. Didirikan pada 2006, APISI bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalitas para pekerja informasi di perpustakaan. APISI juga kerap beraudiensi dengan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dalam penyusunan kebijakan di perpustakaan sekolah. “Kami ingin memberdayakan pustakawan sekolah agar bisa lebih berkontribusi,” ujarnya.

 

Di Indonesia, selain APISI, para pustakawan tersebar ke dalam beberapa asosiasi atau forum. Misalnya, Forum Perpustakaan Khusus, Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi, Ikatan Sarjana Ilmu Informasi, dan Ikatan Pustakawan Indonesia.

 

Selama ini, para penjaga perpustakaan kerap dianggap sebagai orang buangan. Misalnya, ada guru yang bermasalah dengan murid, lalu dipindahkan ke bagian perpustakaan. Praktik ini, kata Sulfan, salah kaprah dan perlu diluruskan. “Kami selalu mengadvokasi hal-hal seperti ini. Profesi pustakawan harus benar-benar diisi oleh orang profesional,” lanjutnya.

 

Jumlah anggota APISI tak terlalu banyak. “Yang mendaftar secara resmi, ya paling dua puluhan orang,” ujarnya. Ia mengatakan APISI sengaja menggunakan istilah “pekerja informasi” ketimbang “pustakawan”, agar semakin banyak orang yang bisa bergabung dalam asosiasi ini. Pilihan ini juga untuk mengakomodir beberapa penjaga perpustakaan di sekolah yang tak memenuhi kualifikasi keilmuan sebagai pustakawan.

 

Untuk isu pelarangan buku di sekolah, Sulfan mengaku APISI memang belum bisa berbuat banyak. Dia sebenarnya berharap APISI bisa lebih terlibat dalam isu-isu seperti ini. “Kami agak susah untuk berbicara tentang pelarangan buku. Karena itu menyangkut visi dan misi sekolah. Dan kebanyakan orang tua murid juga tidak keberatan. Isunya menjadi sensitif karena menyangkut isu-isu keagamaan,” dalihnya.

 

Salah seorang penggagas APISI, Putu Laxman Pendit mengungkapkan harapan yang sama. Namun, seperti rekannya, Putu menyadari posisi para pustakawan atau pekerja informasi di sekolah yang memang tak bisa berbuat apa-apa bila berhadapan dengan yayasan. “Makanya, asosiasi yang harus ikut bergerak di sini,” ujarnya.  

 

Pengajar di The Royal Melbourne Institute of Technology University, Australia, ini menilai asosiasi pustakawaan seharusnya bisa menyentuh masalah-masalah sosial. Dia membandingkan dengan organisasi profesi pustakawan di Australia yang belum berkembang terlalu lama, tetapi bisa memberi masukan-masukan kepada pemegang kebijakan.

 

Lima persen

Sulfan mengakui, meski peduli dengan isu pelarangan buku di sekolah, asosiasinya tak hanya akan berkutat kepada isu tersebut. Ia mengatakan ada banyak isu atau sarana untuk mengadvokasi agar kinerja pekerja informasi di perpustakaan sekolah menjadi semakin lebih baik.

 

Salah satunya adalah mengawal UU No 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Pasal 23 ayat (6) UU itu menyebutkan “Sekolah atau madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5 persen dari anggaran belanja operasional sekolah atau madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan”.   

 

Lima persen memang bukan jumlah yang sedikit. Setidaknya ada 200 ribu sekolah dasar negeri di seluruh Indonesia. Sayangnya, anggaran ini belum sepenuhnya tercurah ke perpustakaan sekolah. “Masih banyak sekolah yang tak memiliki perpustakaan,” tutur Sulfan. Ia menyayangkan ketentuan itu tak memiliki aturan teknis dan memuat sanksi sehingga sering diabaikan oleh pihak sekolah.

 

Meski begitu, lanjutnya, APISI akan tetap memperjuangkan agar ketentuan ini benar-benar dilaksanakan. “Kami akan terus melakukan advokasi,” pungkasnya.

 

Tags: