Albertina Ho: Sosok Pengadil Berfilosofi Air
Edsus Akhir Tahun 2010:

Albertina Ho: Sosok Pengadil Berfilosofi Air

Tak pernah bercita-cita menjadi hakim, Albertina Ho memegang sejumlah kasus yang menarik perhatian publik. Selalu berusaha tegas, dan bersandar pada keyakinan. Mengalir begitu saja bagai air.

Oleh:
Rfq
Bacaan 2 Menit
Albertina Ho. Foto: SGP
Albertina Ho. Foto: SGP
Intonasi suaranya kadang meninggi. Pertanyaan yang diajukan lugas, dan seringkali kritis. Terkesan, ia tak mau setengah-setengah mengungkap suatu perkara. Pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan kerap membuat terdakwa atau saksi gelagapan. Ketegasan itu sedikit banyak meyakinkan publik terhadap keseriusan majelis hakim untuk mengungkap fakta di balik perkara Gayus Halomoan Tambunan.

Tegas dan kritis. Itulah yang terlihat pada sosok Albertina Ho saat menyidangkan perkara Gayus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Liputan luas media massa atas kasus ini membuat wajah Albertina sering nongol di televisi.

Apalagi, ini bukan kali pertama ia memegang kasus yang menarik perhatian publik. Ketika menjadi anggota majelis dalam perkara pembunuhan Nasrudin Zulkarnain, Albertina menjadi sorotan karena mengajukan dissenting opinion terhadap hukuman. Majelis hakim menghukum terdakwa Sigit Haryo Wibisono 15 tahun penjara. Albertina mengajukan pendapat berbeda, karena menganggap hukuman bagi pengusaha itu seharusnya lebih berat.

Dalam perkara lain, Albertina juga menghukum mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum, yang juga pakar hukum pidana, Romli Atmasasmita. Berada di pusaran kasus-kasus besar, Albertina secara tidak langsung ikut menjadi sorotan. Tidak mengherankan perempuan kelahiran 1 Januari 1960 ini terpilih sebagai Hakim Pilihan Tempo 2010.

Namun, itu tidak membuat Albertina tinggi hati. “Saya hanya berdo’a dan minta dukungan dan mudah-mudahan saya bisa menyelesaikan yang sedang saya tangani dengan baik,” ujarnya saat diwawancarai hukumonline, Rabu (22/12) pekan lalu.

Lahir di Dobo, Maluku Tenggara, Albertina selalu ingat pesan sang nenek. Jika ingin menjadi ‘orang’, rajin-rajinlah bersekolah. Pesan itulah yang mengantarkan Albertina meninggalkan kampung halaman. Kelas lima SD, ia pindah ke Ambon demi meraih kualitas pendidikan yang lebih baik. Menumpang di rumah saudara, hingga lulus SMA Negeri II Ambon pada 1979.

Dari Yogya ke Jakarta
Dari bumi Kawanua, Albertina hijrah ke Yogyakarta. Di kota gudeg ini, ia melanjutkan jenjang pendidikan ke Fakultas Hukum UGM. Selama mengenyam pendidikan hukum, tak ada cita-cita Albertina menjadi seorang hakim. Merampungkan studi pada 1985, sarjana hukum baru itu mengisi waktu luang dengan bekerja. Membantu seorang teman yang menempuh pendidikan doktor, Albertina ikut membantu melakukan riset.  

Kali lain, ia membantu sepupu menerjemahkan buku-buku bahasa Inggris. Albertina bertugas sebagai tukang ketik. Dari pekerjaan riset dan mengetik itu, bukan hanya uang yang diperoleh Albertina, tetapi juga pengalaman dan wawasan. Pekerjaan itu terus dilakoni hingga awal Desember 1986, ketika ia diterima sebagai calon hakim. Sekali lagi, Albertina menegaskan tak pernah membayangkan sejak kecil akan menjadi hakim.

“Mengalir saja. Sekarang pun, mengalir begitu saja, menjalani apa yang saya kerjakan,” ujarnya.

Lepas dari pendidikan calon hakim (cakim) di Pusdiklat Departemen Kehakiman di kawasan Cinere Depok, Albertina bertugas pertama kali di Yogyakarta. Di kota pendidikan itu, ia menjalani tugas selama empat tahun. Sebagai cakim, tugasnya membantu administrasi perkara, mulai dari urusan kepegawaian dan registrasi perkara hingga urusan keuangan.

Ia baru diberi amanah menangani langsung perkara setelah menjadi hakim di PN Slawi, Jawa Tengah. Bertugas di pengadilan ini sejak 1990 sampai 1996, kematangannya mengadili perkara mulai terasah. Dari Slawi, perjalanan karir Albertina berpindah ke PN Temanggung, Jawa Tengah. Enam tahun kemudian, ia harus pindah tugas lagi ke PN Cilacap. Mutasi dan promosi itu dijalani dengan filosofi air. “Saya pikir perjalanan sayaenjoy saja,” katanya.

Setelah berputar terus di kawasan Jawa Tengah, karir Albertina melirik Ibukota. Wakil Ketua Mahkamah Agung, Mariana Sutadi, menjadikannya sebagai sekretaris pada 2008. Dalam posisi sebagai sekretaris, lulusan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu ikut sibuk mengurusi program access to justice yang sedang digalakkan Mahkamah Agung. Pergaulannya menjadi lintas profesi dan lintas negara. Dari gedung Mahkamah Agung, Albertina bertugas di PN Jakarta Selatan, tempatnya mengabdi hingga sekarang.

Berpindah-pindah tugas adalah suatu yang lumrah bagi hakim. Karena itu pula, Albertina menjalani mutasi dengan ikhlas. Selalu ada nilai positif dalam perpindahan. Minimal, sang hakim punya kenalan baru, teman diskusi baru, dan suasana baru. Pindah kerja bisa juga dilihat sebagai ‘piknik’, karena mengenali lebih banyak keanekaragaman wilayah dan masyarakat Indonesia. Tentu, kasus yang masuk pun beragam. Memang, pindah tugas bisa merepotkan kalau proses adaptasinya susah.

Tetapi, bagi Albertina, dimanapun bertugas, amanah pimpinan harus dijalankan dengan ikhlas dan baik. Sebagai hakim, ia sudah tahu kemungkinan pindah-pindah tugas. Untuk tempat tinggal ia memanfaatkan perumahan hakim. Sekarang pun ia tinggal di perumahan Mahkamah Agung di Jalan Ampera Raya, tak jauh dari PN Jakarta Selatan.

Keyakinan adalah kunci
Biarkan semua mengalir bagai air, dan laksanakan tugas semaksimal mungkin dan sebaik yang kita bisa. Filosofi hidup itulah yang dipegang Albertina ketika menangani perkara. Dalam praktik, sikap jeli melihat kasus menjadi penting bagi seorang hakim. Caranya, menanyakan detail kasus kepada saksi dan terdakwa agar semuanya menjadi jelas.  Jadi, proses pembuktian harus berjalan dan mengalir di persidangan.

Sikap tegas juga penting. Kalau terdakwa terbukti bersalah dan melanggar peraturan, Albertina tak segan-segan menghukum. Hukum dan kemanusiaan adalah dua sisi mata uang. Sebaliknya, jika terdakwa terbukti tidak bersalah, Albertina bisa membebaskan terdakwa. Saat menangani kasus Marsiyah, nenek 75 tahun, Albertina memperlihatkan bahwa yang bersalah tetap dihukum, tetapi sisi kemanusiaan juga penting diperhatikan. Nenek Marsiyah terbukti bersalah dan dihukum, namun tak perlu menjalani hukuman.

Keyakinan tak bisa dilepaskan dari seorang hakim. Ia tak bisa melulu berpatokan pada rumusan undang-undang. Keyakinan personal-religius pula yang membuat Albertina bersikap tegas terhadap setiap godaan. Dengan menjalani keyakinan agama dengan benar, seorang hakim bisa terhindar dari perbuatan tercela.

“Saya pikir dengan mengikuti rambu yang sudah diatur dengan baik oleh agama dan saya yakin tuhan pasti akan memberikan perlindungan. Dan saya yakin Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kita,” katanya.

Kala menangani perkara-perkara besar pun, ia tak melupakan Tuhan. Siapa sih yang bisa menjamin putusan seorang hakim selalu memuaskan semua orang? Karena itu, keyakinan dan kode etik sebagai hakim membuat batas mana yang boleh dan mana yang tidak. “Saya selalu berdo’a,” sambungnya.

Fasilitas bagi hakim
Hakim seharusnya bekerja dalam kondisi dan fasilitas yang baik. Bukan hanya fasilitas kerja seperti komputer dan printer, tetapi juga fasilitas kesehatan. Penyediaan fasilitas itu bisa menjaga hakim dari godaan pihak yang berperkara. Jika fasilitas tersedia, hakim juga bekerja dengan baik. Ketersediaan fasilitas itu pada dasarnya juga bisa menghindari putusan bocor ke para pihak sebelum waktunya.

Albertina membeli sendiri komputer jinjing dan printer. Berbekal alat itu, ia bisa mengetik sendiri putusan hingga larut malam. Karena itu, kerahasiaan putusan bisa terjaga.

Fasilitas kesehatan, kata alumnus SMP Katholik Bersubsidi Ambon ini, adalah hal yang tidak dapat dikesampingkan. Fasilitas kesehatan merupakan penunjang bagi hakimdalam menjalankan tugas. Asuransi Kesehatan (Askes) belum setara dengan tugas seorang hakim yang mesti bersidang hingga melebihi jam kerja. Hakim, mulai masuk kantor jam delapan hingga jam lima sore. Dengan fasiltas check-uppertahun akan mencegah hakim dari ancaman penyakit.

“Saya berpikir yang sederhana-sederhana saja. Misalnya kita diberikan fasilitas yang baik, tidak usahlah kita menuntut yang mewah-mewah,” katanya.

Di tengah kesibukannya sebagai hakim, Albertina punya prestasi di gelanggang olah raga. Di kalangan korps pengadilan, Albertina dikenal sebagai hakim yang hobi main tenis. Ia pernah mewakili Mahkamah Agung pada kejuaraan tenis dan mendapat juara dua.

Seperti bola tenis, masa depan seorang hakim seperti Albertina mungkin masih akan melambung tinggi. Namun ia tetap berusaha merendah. “Saya akan melaksanakan sebaik mungkin semaksimal yang saya bisa”. Ia tak mempersoalkan penilaian masyarakat. Penilaian buruk pun harus dipandang sebagai kritik membangun. “Dinilai baik terima kasih, dinilai jelek pun saya berterima kasih,” pungkasnya.
Tags: