Wiwiek Awiati: Pendamping Para Agung
Berita

Wiwiek Awiati: Pendamping Para Agung

Perubahan itu bukan hal yang tak mungkin, selama optimistis hinggap, berbagai hambatan bakal menyingkir.

Oleh:
Inu
Bacaan 2 Menit
Wiwiek Awiati pendapaing para Agung puncak peradilan di <br>Indonesia. Foto: Sgp
Wiwiek Awiati pendapaing para Agung puncak peradilan di <br>Indonesia. Foto: Sgp

Salah satu gedung di Jalan Merdeka Utara nampak kokoh karena ditopang sejumlah pilar. Penghuni dalam gedung itu mendapat sebutan ‘agung. Setidaknya sebutan para agung itu layak, karena gedung besar itulah tempat puncak peradilan di Indonesia.

 

Ya, merekalah para hakim agung yang berkantor di tempat itu, Mahkamah Agung. Selain berkantor, memutus perkara agar memiliki kekuatan hukum tetap juga terjadi di tempat itu. Mereka yang menyandang predikat ‘agung’ terus berdinamika, berusaha membuat lembaga ini ikut merasakan keagungan itu.

 

Meski sudah menjadi tempat para hakim agung selama puluhan tahun, dan ratusan orang pernah menjabat, agaknya keadilan masih jauh dirasakan publik. Pendamba keadilan jauh dari keinginan mendekati diri dengan para pengadil agung. Bahkan keengganan itu melebar hingga memunculkan ketidakpercayaan pada lembaga peradilan. Sehingga wajar muncul pertanyaan, kemana keadilan itu harus dicari? Pertanyaan itu muncul setelah sekian lama keadilan itu beralih rupa menjadi seram bagi yang mendamba adil. Berwajah ramah bagi pemilik kantong tebal yang rajin membeli keadilan.

 

Namun, suasana itu harus berhenti. Momen tepat untuk memulainya justeru terjadi saat krisis ekonomi menggulung Indonesia dan sejumlah negara dunia. Kebosanan masyarakat untuk tak mendapat keadilan seolah mendidih. Tuntutan agar keadilan itu hadir kembali tak kuasa dibendung para pemberi adil, apalagi para hakim agung.

 

Karena itu, sejak 2003, cetak biru pembaruan peradilan lahir. Pemikiran dan tujuan besar adalah menghapus perilaku miring para pemberi keadilan menjadi dihormati semua pihak karena putusan para wakil Tuhan. Salah satu amanah dalam cetak biru pembaruan peradilan 2003 adalah membuka pintu bagi masyarakat agar ikut membenahi arah salah yang dijalani pemberi adil sebelumnya. Keterlibatan masyarakat itu diamanatkan dalam satu wadah, yaitu tim asistensi pembaruan peradilan.

 

Sekian nama masyarakat yang bersedia mendampingi para hakim agung itu adalah Wiwiek Awiati. Wanita berambut sepunggung ini punya cerita tersendiri mengapa dia mau ikut mendampingi penghuni gedung agung itu untuk berganti kulit menjadi lebih adil dan dipercaya masyarakat.

 

Sejatinya, meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia, tahun 1990, hanya satu hal yang membuat dia tertarik. Membuat generasi muda memahami teori hukum sekaligus menjadikan teori tersebut dapat diterapkan saat mereka lulus perguruan tinggi. Saya dan pengajar FH-UI lain memberikan bekal berdasarkan hasil penelitian terbatas dan teori-teori hukum saat itu,” kenang Wiwiek, suatu siang di ruang sekretariat Tim Pembaruan Peradilan, medio Desember 2010.

Tags: