Apong Herlina: Memilih Membela Ketimbang Memberi Keadilan
Edsus Akhir Tahun 2010:

Apong Herlina: Memilih Membela Ketimbang Memberi Keadilan

Berawal dari psikotes, jadilah dirinya pelayan bagi yang lemah.

Oleh:
Inu
Bacaan 2 Menit
Apong Herlina memilih membela ketimbang memberi keadilan. <br>Foto: Sgp
Apong Herlina memilih membela ketimbang memberi keadilan. <br>Foto: Sgp

Tetes air rajin menetes dari sebuah pendingin udara lalu jatuh ke ember biru di salah satu ruang yang menjadi ruang kerja salah satu penyelenggara negara. Tak hanya kondisi pendingin udara yang memprihatinkan di ruangan satu komisioner pada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ternyata cat dinding pun tak kuasa menahan lembabnya udara.

 

Cat dinding tersebut sudah mulai tak melekat pada tempatnya. Entah berapa lama lagi, akan jatuh ke lantai.

 

Begitulah sekilas ruang kerja Apong Herlina, komisioner KPAI periode 2010-2013 yang dipilih Komisi VIIi DPR bersama delapan orang lain. Apong, begitu wanita kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 26 Mei 1965 ini biasa disapa, tak canggung untuk menerima tamu yang ingin menemui dirinya di ruang kerja yang hanya diisi meja kerja dan lemari.

 

Satu-satunya hal yang membuat dia canggung di KPAI adalah, meminta bantuan siapa untuk memberi suguhan minuman pada para tamu. Termasuk, tatkala hukumonline mewawancarai alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1989 ini. “Maaf ya tidak disuguhi minum, karena baru beberapa pekan dilantk lalu berkantor di sini, saya masih canggung menyuruh siapa untuk memberi tamu minum,” pinta Apong.

 

Profesi sekarang ini, ujarnya memulai penuturan laku hidupnya, dia akui jauh dari keinginan awal semasa dia kecil hingga saat memakai seragam sekolah putih abu-abu alias SMA di Tasikmalaya. “Bulat tekad saya menjadi dokter,” tuturnya mantap.

 

Karena itu, dia serius untuk mendapat bekal cukup berupa nilai pelajaran yang bagus. Semasa SMA, nilai pelajaran pun bagus, bahkan dia masuk dalam kelas penjurusan ilmu pasti di SMA Negeri Tasikmalaya.

 

Namun, entah kenapa, cita-cita dan bekal yang dikumpulkan Apong tak membuat sang ibu, Kiah Sukiana, memiliki keyakinan setebal anaknya. Orang tua tunggal, karena Tanu Widjaya, suaminya lebih dulu menghadap ilahi, perlu pendapat lain akan masa depan Apong.

Tags: