Bivitri Susanti: Modal Enam Juta dan Kegelisahan
Edsus Akhir Tahun 2010:

Bivitri Susanti: Modal Enam Juta dan Kegelisahan

Selain menggeluti dunia NGO dan peneliti, Bibip juga sempat terpikir menjadi jurnalis atau hakim.

Oleh:
Abdul Razak Asri
Bacaan 2 Menit
Bivitri Susanti. Foto: Sgp
Bivitri Susanti. Foto: Sgp

Kala itu, euforia reformasi baru saja lewat dalam hitungan bulan. Lengsernya sang penguasa Orde Baru, (alm) Soeharto -yang sampai saat ini diyakini sejumlah kalangan- merupakan buah dari gerakan mahasiswa, menjadi tonggak dimulainya era yang kemudian populer disebut era reformasi. Indonesia pun memasuki babak baru.

 

Bersamaan dengan itu sebuah embrio organisasi non pemerintah tengah menetas. Tepatnya bulan Juli 1998, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, biasa disingkat PSHK, resmi berdiri. Di usianya yang ke-12, PSHK telah menorehkan banyak jejak dalam program-program pembaruan di negeri ini. Sebut saja beberapa di antaranya cetak biru pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, cetak biru Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, dan cetak biru Pembaruan Mahkamah Agung.

 

Ide pembentukan PSHK sendiri berawal dari sebuah diskusi “informal” antara seorang senior dengan juniornya. Mereka kuliah pada institusi yang sama, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sang senior adalah seorang pengacara yang prihatin atas curat-marut kondisi hukum di Indonesia. Sementara, sang junior adalah seorang mahasiswi bernama Bivitri Susanti yang seringkali merasa gelisah menyaksikan ketidakadilan dan ketidakberesan yang kerap terjadi di negeri ini.

 

“Ketika itu, saya bahkan belum lulus,” tutur perempuan kelahiran 5 Oktober 1974 itu melalui surat elektronik kepada hukumonline. Dari pernyataan ini, Bibip –begitu ia biasa disapa- seolah-olah ingin menekankan betapa “junior” dirinya ketika menerima tawaran sang senior untuk mendirikan PSHK.

 

Bersama Aria Suyudi, rekan satu kampusnya, Bibip mulai menggerakkan roda organisasi PSHK dengan modal uang “hanya” Rp6 juta. Dengan uang sebesar itu, di saat perekonomian Indonesia baru pulih dari krisis dan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat sedang tinggi-tingginya, tentunya cukup sulit bagi Bibip dan Aria untuk membangun sebuah kantor baru. Makanya, strategi “hemat” pun dilakukan. “Masa-masa awal pendirian PSHK sangat menarik,” kenangnya.

 

Di awal kiprahnya, kantor PSHK menumpang pada salah satu ruangan sempit di kantor salah seorang pendiri. Begitu sempitnya itu ruangan, bahkan pada suatu waktu seorang rekan Bibip yang kebetulan sedang mengerjakan penelitian di PSHK terpaksa harus bekerja di kolong meja. Tidak hanya ruangan, untuk aktivitas mengetik dan mencetak dokumen pun PSHK menumpang padalaptop dan printer di kantor sang pendiri tersebut. Aksi “menumpang” terpaksa dilakukan karena uang modal Rp6 juta hanya cukup untuk dibelanjakan kursi ukuran kecil, meja, kertas, dan alat-alat tulis.

 

“Gaji kami tentu saja sangat kecil, biasanya makan siang di kantor, ada rice cooker, tinggal beli lauk,” dia menambahkan. Hidup “menumpang” ternyata juga memberikan satu keuntungan pribadi buat Bibip. “Saya dan Aria waktu itu bisa numpang mengerjakan dan menge-print skripsi kami yang belum selesai.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait