Sulistyowati Irianto: Dari Sahabat Pena Menjadi Profesor
Edsus Akhir Tahun 2010:

Sulistyowati Irianto: Dari Sahabat Pena Menjadi Profesor

Hukum bukan semata teks undang-undang yang mati, hukum selalu hidup mengikuti perkembangan masyarakat.

Oleh:
Abdul Razak Asri
Bacaan 2 Menit
Prof Sulistyowati Irianto dari sahabat pena menjadi Profesor. Foto: Sgp
Prof Sulistyowati Irianto dari sahabat pena menjadi Profesor. Foto: Sgp

Meraih gelar profesor, bagi kebanyakan akademisi adalah raihan tertinggi yang diidam-idamkan. Menyandang gelar guru besar tentunya juga menjadi prestise tak ternilai bagi seorang peneliti. Namun, tidak demikian bagi Prof Sulistyowati Irianto. Dosen Universitas Indonesia yang juga dikenal sebagai peneliti di bidang Antropologi Hukum ini sama sekali tidak memandang “wah” gelar terhormat yang ia raih tahun 2008 itu.

 

Anda mungkin geleng-geleng kepala mendengar jawaban Bu Sulis, begitu ia biasa disapa. Bayangkan, ketika resmi dinobatkan sebagai Guru Besar Antropologi Hukum, wanita kelahiran Jakarta, 1 Desember 1960 ini belum genap berusia setengah abad. Usia yang memang tidak belia lagi, tetapi bisa dibilang cukup “muda” untuk menyandang gelar profesor. Apalagi, mengingat latar belakang pendidikannya yang relatif “nggak nyambung” dengan keahliannya sekarang.

 

Sulis adalah seorang Sarjana Sosial juruan Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada. Lulus tahun 1985, Sulis memutuskan untuk “mengakhiri” hubungan dengan jurusan yang dia pelajari selama enam tahun, dan beralih ke bidang yang benar-benar baru. “Ceritanya sungguh indah kalau dikenang kembali,” tutur Sulis kepada hukumonline, Senin sore pekan lalu (27/12), di sebuah pendopo yang terasa teduh di belakang rumahnya.

 

Uniknya, kisah keterlibatan Sulis dengan bidang keahliannya sekarang, Antropologi Hukum, berkaitan dengan hobi surat-menyurat ketika jaman muda puluhan tahun silam. Dia mengaku memang gemar berkorespondensi sedari kecil. Namun, jangan bayangkan kegiatan Sulis berkorespondensi ketika itu sama seperti jaman sekarang yang jejal dengan beragam alat komunikasi. Ketika itu, belum marak telepon seluler atau bahkan internet yang menyediakan fasilitas percakapan di dunia maya (cyberchat). Dalam menjalani kegemarannya, Sulis hanya mengandalkan secarik kertas. Lalu, ditulis dan dikirim via pos.

 

“Ketika itu, saya memiliki banyak sahabat pena, salah satunya adalah laki-laki yang sekarang menjadi suami saya,” kenangnya sambil tersenyum simpul. Melalui surat-menyurat, tidak hanya berkah mendapatkan suami yang diperoleh Sulis. Jalan karir pun dituainya karena kegemaran ini.

 

Awalnya adalah kenekatan Sulis mengirimkan surat kepada sejumlah tokoh yang ia kagumi. Beberapa di antara mereka adalah ahli Antropologi dari Universitas Indonesia (UI) Prof Koentjaraningrat dan Prof TO Ihromi, serta ahli Sosiologi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Pujiwati Sajogyo. Kepada mereka, selain menyatakan kekagumannya, Sulis juga mengutarakan niat ingin menjadi dosen.

 

Gayung bersambut, Prof Sajogyo sedang membutuhkan asisten. Peluang itu langsung disabet Sulis, meski tidak berlangsung lama. “Karena saya diberi supervisor yang tidak mengerti metodologi penelitian, jadi setiap saya kirim laporan tak pernah direspon,” dia mengungkapkan.

 

Menggeluti Antropologi Hukum

Keluar dari IPB, Sulis mendapat tawaran mengajar di UI. Tawaran ini disambut dengan antusias oleh Sulis. Baginya, menggeluti bidang Antropologi adalah kesempatan mempelajari sesuatu yang tidak melulu normatif seperti jurusan yang ia pilih di UGM. Antropologi Hukum, menurut Sulis, adalah ilmu yang mempelajari bagaimana hukum itu bekerja dan berinteraksi dalam masyarakat.

 

Namun, jalan Sulis untuk menjadi dosen di UI ternyata tidak mudah, karena Prof Koentjaraningrat menyodorkan syarat. Sulis diperkenankan mengajar di UIasal dapat membuktikan dirinya bisa menjadi seorang Antropolog. Sekali lagi, Sulis tak gentar. Tantangan itu diterima dengan menjalani program pasca sarjana di negeri Belanda selama lima tahun.

 

“Bayangkan hanya untuk meraih gelar S2 saja harus belajar selama lima tahun, karena dua tahun awal saya harus belajar Bahasa Belanda terlebih dahulu,” ujarnya. Sulis diharuskan belajar Bahasa Belanda karena ketika itu Pemerintah Belanda hendak mengembalikan sejumlah dokumen sejarah Indonesia berupa manuskrip-manuskrip dalam Bahasa Belanda. Lagipula, kala itu, program pasca sarjana di Negeri Bunga Tulip belum mengenal bahasa pengantar selain Bahasa Belanda.

 

Rampung menjalani program pasca sarjana, Sulis langsung mendapat instruksi “pulang kampung” dari Prof Ihromi. Sulis diminta membantu proses persiapan pengadaan mata kuliah baru bernama Antropologi Hukum. UI dicanangkan sebagai perguruan tinggi pertama yang memperkenalkan mata kuliah ini.

 

Dalam proses persiapan ini, Sulis membantu Prof Ihromi mengidentifikasi keberadaan mata kuliah Antropologi Hukum di seluruh Indonesia. Salah satu caranya dengan mengirimkan kuesioner ke sekitar 50 dekan fakultas hukum se-Indonesia untuk menanyakan apakah di sana terdapat mata kuliah Antropologi Hukum. Sayang, kuesioner tersebut hanya direspon oleh beberapa fakultas hukum saja. Namun begitu, dari respon yang sedikit diketahui bahwa Antropologi Hukum, sebenarnya sudah eksis, meski dengan nama yang berbeda-beda.   

 

Singkat cerita, pengadaan mata kuliah Antropologi Hukum di UI berjalan sukses. Pada awalnya, selain di Fakultas Hukum, mata kuliah ini juga diperkenalkan di program pasca sarjana Antropologi. Dan setelah itu, merambah juga ke program S1 di FISIP. Uniknya, rencana mengadakan mata kuliah Antropologi Hukum sempat menuai perdebatan di kalangan sarjana hukum. Mereka yang tidak setuju menganggap Antropologi Hukum bukan bagian dari ilmu hukum.

 

“(perdebatan itu) Bahkan hingga sekarang, meski tidak kencang,” tukas Sulis. Sayangnya, pihak yang tidak setuju terkesan enggan berdiskusi. Padahal, Sulis mengaku ingin sekali meluruskan pandangan mereka bahwa faktanya di beberapa negara, seperti Belanda, Antropologi Hukum adalah bagian dari Fakultas Hukum.

 

Bagi Sulis, Antropologi Hukum sangat penting karena dapat berperan menyeimbangkan antara keadilan hukum dengan keadilan sosial. Selama ini, dua jenis keadilan ini seringkali berseberangan. Misalnya dalam kasus Bu Minah, seorang ibu tua yang didakwa melakukan pencurian beberapa biji kakao. Dari perspektif Antropologi Hukum, Bu Minah tidak semestinya dibawa ke meja hijau jika penegak hukum tidak semata mempertimbangkan keadilan hukum dan keadilan prosedural.

 

“Antropologi Hukum sangat bermanfaat bagi penegak hukum, agar mereka tidak berspektif ‘kaca mata kuda’ sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus Bu Minah di kemudian hari,” ujar Sulis yang juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini.

 

Perjuangan mengadakan mata kuliah Antropologi Hukum adalah sekelumit kisah yang tidak akan dilupakan Sulis sepanjang bersentuhan dengan dunia hukum sejak 24 tahun yang lalu. Dia menyadari bahwa apa yang dicapainya kini tidak akan mungkin terwujud tanpa jasa Prof Koentjaraningrat dan Prof TO Ihromi. “Ibu Ihromi adalah orang yang paling berjasa dalam hidup saya karena bisa dibilang beliau adalah ibu yang melahirkan saya secara intelektual,” tutur Sulis.

 

Gender dan regenerasi 

Sukses di jalur akademisi ternyata tidak cukup bagi seorang Sulis. Lama bergelut dengan teori-teori, Sulis pun tertarik untuk merambah dunia aktivis. Bergaul dengan kalangan LSM, Sulis mulai fokus pada isu-isu gender yang sebenarnya bukan barang baru baginya. Sejak kuliah S1, Sulis sudah tertarik dengan isu gender yang dibuktikannya dengan memilih tema skripsi “Perempuan-perempuan yang Bekerja di Bidang Administrasi Publik”.

 

Tidak hanya skripsi, untuk tesis pun Sulis memilih tema gender dengan judul“Batak Women and Social Security in 1980-s: A Study on Social Security with Legal Anthropological  perspective”. “Kenapa Batak? Karena bagi seorang Antropolog baru akan diakui keahliannya jika meneliti budaya masyarakat yang bukan tempat asalnya,” dalihnya. Meski lebih merasa sebagai orang Jakarta, Sulis yang meraih gelar S2 dari Leiden University ini memiliki orang tua asal Solo, Jawa Tengah.

 

Keahlian Sulis mengenai isu-isu gender telah diakui banyak kalangan. Makanya, tidak heran jika istri dari Yohannes Irianto ini dipercaya menjadi Ketua Center for Women and Gender Studies UI sejak 2002 hingga 2010. Selain itu, Sulis juga tercata sebagai Anggota Aktif Convention Watch Working Group, Center For Women and Gender Studies UI.

 

Memasuki usia setengah abad, sudah banyak capaian yang telah diraih Sulis. Namun, ia mengaku masih menyisakan keresahan di hati. Sulis memiliki perhatian khusus terhadap regenerasi akademisi bidang Antropologi Hukum. Begitu perhatiannya, Sulis bahkan rela bersusah-payah mengumpulkan uang serta membina jaringan agar murid-murid terbaiknya berkesempatan menjadi ahli Antropologi Hukum seperti dirinya. “Saya akan merasa tenang, jika sudah banyak doktor-doktor Antropologi Hukum yang akan menjadi penerus saya,” harapnya.

 

Sebuah ungkapan jujur dan tulus dari seseorang akademisi yang telah puluhan tahun menggeluti profesi sebagai akademisi. Semoga terkabul.

 

 

 

 

Tags: