Sulit Diselesaikan, Konflik Perkebunan Terus Menyebar
Berita

Sulit Diselesaikan, Konflik Perkebunan Terus Menyebar

Peluang kriminalisasi dalam UU Perkebunan dinilai selama ini telah menjadi senjata bagi perusahaan untuk melanggar hak masyarakat lokal.

Oleh:
M-10
Bacaan 2 Menit
Konflik perkebunan terus menyebar dan sulit diselesaikan,<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)
Konflik perkebunan terus menyebar dan sulit diselesaikan,<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)

Penembakan petani kelapa sawit di Karang Mendapo, Jambi, 15 Januari lalu dinilai merupakan salah satu wujud absennya negara dalam konflik masyarakat versus korporasi perkebunan. Konflik sejenis terus terjadi di berbagai belahan wilayah Indonesia.

 

Public Interest Lawyer Network (PIL-Net) mencatat, sepanjang tahu 2010 tercatat setidaknya 170 konflik antara masyarakat dengan perusahaan pekebunan kelapa sawit yang belum terselesaikan. Konflik tersebut terjadi di 16 daerah dengan rincian terbesar di Kalimantan Barat (35 kasus), Sumatera Selatan (27 kasus), dan Jambi (19 kasus).

 

Konflik-konlik tersebut, di mata PIL-Net, merupakan bukti absennya negara untuk mengatasi konflik. Koordinator PIL-Net, Wahyu Wagiman, mengatakan negara sudah semakin jauh dari tujuan awal melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Ironisnya, dalam sejumlah kasus konflik, negara seolah tampil sebagai representasi korporasi perkebunan. “Negara justru gemar melakukan tindakan represif terhadap masyarakat dan sering tampil sebagai wakil perusahaan perkebunan,” ujarnya di Jakarta, Senin (31/1).

 

Perilaku negara yang cenderung membela perusahaan perkebunan, menurut Wahyu, sangat jelas terlihat dalam wujud regulasi yang sering menjadi pemicu awal konflik. Oleh karena itu PIL-Net berharap UU Perkebunan segera direvisi. Minimal revisi terhadap pasal yang merugikan masyarakat. Sebagai langkah konkrit, PIL-Net menginisiasi judicial review Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.

 

Ketentuan yang dimohonkan untuk diuji adalah pasal 21 dan pasal 47. Kedua pasal ini dinilai berbahaya karena sering menjadi senjata bagi perusahaan sehingga penguasaan tanah oleh perusahaan terhadap tanah masyarakat adat tidak dilakukan dengan negosiasi apalagi ganti rugi. Anggota Badan Pengurus Sawit Watch, Abed Nego Tarigan menambahkan sepanjang tahun 2010 tercatat 108 masuk bui gara-gara UU Perkebunan. Masyarakat dituduh mencaplok tanah perusahaan perkebunan meskipun masyarakat sudah lebih dahulu mendiami kawasan tertentu sebelum dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit.

 

Anggota Komisi II DPR RI Budiman Sujatmiko mengatakan bahwa konflik antara petani dengan perusahaan perkebunan selama ini memang cukup sulit untuk diselesaikan. Terutama jika perusahaan perkebunan tersebut bukanlah pihak yang memiliki beban politik terkait agenda reformasi.

 

“Kasus yang relatif bisa diselesaikan di Jawa Tengah, Cilacap, berkaitan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta. Namun kasus-kasus yang mudah diselesaikan seperti itu adalah perkebunannya dikuasasi oleh elit-elit orde baru baik tentara maupun keluarga cendana. Sementara itu elit pemilik perkebunan yang tidak tersentuh reformasi agak lebih sulit karena beban politik mereka tidak seberat TNI dan keluarga cendana,” tuturnya.

 

Namun Budiman menambahkan, persoalan yang berkaitan dengan tanah harus diselesaikan secara serius. Dalam rangka itu, tuturnya, Komisi II DPR sudah sepakat dengan BPN untuk segera merealisasikan Forum Bersama DPR-BPN. Forum ini dibuat untuk menginventarisasi kasus-kasus tanah di seluruh Indonesia kemudian kita bersama-sama membahasa langkah penyelesaiannya. Sehingga, penyelesaian tidak dimonopoli oleh eksekutif sementara DPR hanya sebagai tukang tampung.

 

Komisi II, kata Budiman, sudah mengagendakan usulan revisi UU Perkebunan. Cuma, sekarang ada kecenderungan komersialisasi lahan. Karena itu, penyediaan lahan perkebunan perlu dijadikan bagian dari penataan pertanahan secara menyeluruh. Masalah ini akan dibahas dalam reforma pertanahan. “Kini DPR sudah memproses penyusunan kaukus perubahan desa dan agraria,” kata politisi PDI Perjuangan itu.

Tags: