Hakim Seringkali Abaikan Bukti Ilmiah
Kasus Lingkungan:

Hakim Seringkali Abaikan Bukti Ilmiah

Tidak hanya hakim, pemahaman mengenai prinsip hukum lingkungan ini juga harus merambah penegak hukum lain.

Oleh:
MVT
Bacaan 2 Menit
Siasati minimnya pemahaman hukum lingkungan di kalangan hakim,<br>MA merancang Pokja Sertifikasi. Foto: Sgp
Siasati minimnya pemahaman hukum lingkungan di kalangan hakim,<br>MA merancang Pokja Sertifikasi. Foto: Sgp

Pemahaman dan kemampuan hakim dalam menangani sengketa lingkungan di ditengarai masih minim. Hakim seringkali tidak menerima bukti ilmiah perusakan lingkungan karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip pembuktian. Akibatnya, putusan kasus tindak pidana perusakan lingkungan tidak menyelesaikan persoalan.

 

Demikian disampaikan Prayekti Murharjanti, peneliti hukum lingkungan dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL). Menurutnya, tidak jarang hakim gagal memaknai bukti ilmiah sebagai bukti hukum. Prayekti mencontohkan, dalam salah satu kasus kebakaran hutan yang merambah permukiman warga, hakim menolak argumen saksi bahwa terjadi pembakaran dengan sengaja.

 

“Saksi sudah menegaskan bahwa hutan sengaja dibakar untuk kegiatan usaha sebuah perusahaan di sana. Namun, hakim menolak dengan alasan saksi tidak ada di tempat kejadian pada saat pembakaran terjadi sehingga kesaksiannya dinilai tidak cukup kuat,” urainya dalam Dialog Kebijakan Lingkungan Hidup di Bappenas, Jakarta, Jumat (4/2).

 

Padahal, menurut Prayekti, membedakan kebakaran hutan akibat kondisi alam dan ulah manusia secara ilmiah tidak susah. Seseorang tidak harus melihat dimulainya pembakaran hutan untuk menentukan hutan terbakar atau dibakar. “Sayangnya pemahaman seperti ini masih kurang dimiliki hakim,” lanjutnya.

 

Begitupun mengenai prinsip hukum lingkungan lainnya seperti prinsip kehati-hatian (precautinary principle). Prinsip ini mengakui jika sebuah tindakan atau kebijakan diduga dapat membahayakan lingkungan atau manusia, keduanya harus tetap dianggap berbahaya hingga penelitian ilmiah mengatakan sebaliknya.

 

Menurut Prayekti, dalam beberapa kasus, hakim masih berpikiran legalistik.  “Hanya memaknai aturan secara sempit tanpa melihat konteks persoalan,” dia menambahkan.

 

Menanggapi hal ini, Hakim Agung Takdir Rakhmadi menegaskan bahwa Mahkamah Agung sedang merancang pembentukan Kelompok Kerja Sertifikasi Hakim Lingkungan. “Saat ini sedang dibahas mekanismenya,” ujar dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags: