Pencatatan Perkawinan Justru Lindungi Warga Negara
Utama

Pencatatan Perkawinan Justru Lindungi Warga Negara

Pemerintah dan DPR menganggap permohonan pemohon bukan persoalan konstitusionalitas melainkan persoalan penerapan hukum.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
MK akan tentukan kejelasan status anak Machica<br>hasil perkawinan dengan Moerdiono. Foto: Sgp
MK akan tentukan kejelasan status anak Machica<br>hasil perkawinan dengan Moerdiono. Foto: Sgp

Pencatatan perkawinan seperti yang diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak untuk membatasi hak asasi warga negara. Tetapi, justru untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.

 

Demikian keterangan pemerintah yang disampaikan Staf Ahli Menteri Agama, Tulus dalam sidang pleno pengujian UU Perkawinan yang diajukan Aisyah Mochtar atau yang dikenal Macicha Mochtar di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (9/2).

 

Tulus menuturkan suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya jika tidak dicatatkan. Pencatatan itu untuk tertib administrasi, memberikan kepastian hukum bagi status hukum suami, istri, anaknya, dan jaminan perlindungan terhadap hak yang timbul seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran. “Pencatatan ini harus memenuhi syarat dan prosedur dalam UU Perkawinan.” 

          

Ia mengakui bahwa UU Perkawinan menganut asas monogami. Namun, undang-undang tidak melarang seorang suami beristri lebih dari satu (poligami) setelah memenuhi syarat dan prosedur yang ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, Pasal 12 UU Perkawinan dan PP No 9 Tahun 1975. Aturan itu berlaku untuk semua warga negara tanpa membeda-bedakan orang atau golongan.     

 

“Jika tidak memenuhi syarat itu berakibat tidak dapat dicatatkan suatu perkawinan di Kantor Urusan Agama (Islam) atau Kantor Catatan Sipil (non-Islam). Akibat hukumnya, tidak mempunyai status hukum perkawinan yang sah dan tidak mempunyai hak waris bagi suami, istri, atau anak-anaknya,” jelasnya.

 

Pemerintah memandang Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, juga untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap hubungan keduanya. Sebab, perkawinan yang tidak dicatat dianggap peristiwanya tidak ada, sehingga anak yang dilahirkan disebut anak luar perkawinan yang sah.

 

“Jadi tidak logis jika UU Perkawinan memastikan seorang anak luar kawin memiliki hubungan hukum dengan seorang laki-laki yang tidak terikat perkawinan yang sah,” katanya.        

 

Karena itu, Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak bertentangan Pasal 28 B ayat (1), (2) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Sebab, jika perkawinan itu dilakukan secara sah, maka hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 28 B ayat (1), (2) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 dapat terpenuhi.        

 

Bukan konstitusionalitas

Tulus menambahkan permohonan pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas, melainkan kasus konkret yang dialami pemohon lantaran perkawinannya dengan seorang laki-laki beristri tidak memenuhi syarat dan prosedur menurut undang-undang. Akibatnya, perkawinan poligami yang dilakukan pemohon tidak dapat dicatat.

 

Karenanya, pemerintah berpendapat pemohon tidak memiliki legal standing (kapasitas hukum) untuk mengajukan pengujian undang-undang ini karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 51 UU No 24 Tahun 2003 tentang MK.

 

Sementara Pieter C Zulkifli Simabuea yang mewakili DPR berpendapat sama. Menurut Anggota Komisi III DPR itu sesungguhnya persoalan pemohon bukan persoalan konstitusionalitas melainkan persoalan penerapan hukum perkawinan (syarat poligami) yang tidak dipenuhi pemohon. “Pasal 43 (1) UU Perkawinan justru telah menjamin kepastian dan perlindungan hukum status keperdataan anak dan ibunya.”  

 

Sebelumnya, lewat kuasa hukumnya, Macicha Mochtar, artis dangdut era 1980-an, menguji Pasal 2 ayat (2) dan 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28 B ayat (1) dan (2), Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.


Sebab, pasal itu menimbulkan ketidakpastian hukum hubungan antara anak pemohon dan bapaknya serta melanggar hak konstitusional anak untuk mengetahui asal-usul bapaknya. Norma itu juga berdampak suami pemohon tak berkewajiban untuk memelihara, mengasuh, dan membiayai anak pemohon.

  
Permohonan ini efek dari perceraian antara Macicha dan mantan suaminya, Moerdiono yang juga mantan Mensesneg pada tahun 1998. Macicha dinikahi Moerdiono secara siri pada tahun 1993 yang dikarunia seorang anak bernama Muhammad Iqbal Ramadhan (14). Kala itu, Moerdiono masih terikat dengan istrinya. Lantaran UU Perkawinan menganut asas monogami mengakibatkan perkawinan Macicha dan Moerdiono tak bisa dicatatkan KUA.

 

Akibatnya, perkawinan mereka dinyatakan tidak sah menurut hukum (negara) dan anaknya dianggap anak luar nikah yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Setelah bercerai, Moerdiono tak mengakui Iqbal sebagai anaknya dan tidak pula membiayai hidup Iqbal sejak ia berusia dua tahun. Efeknya, Iqbal kesulitan dalam pembuatan akta kelahiran lantaran tak ada akta/buku nikah.

 

Pada 2008, kasus ini sempat bergulir ke Pengadilan Agama Tangerang atas permohonan itsbat nikah dan pengesahan anak yang permohonannya tak dapat diterima. Pernikahan antara Macicha dan Moerdiono dianggap sah karena semua rukun nikah telah terpenuhi, seperti adanya mahar, wali nikah, dan saksi. Akan tetapi, pengadilan agama tak berani menyatakan Iqbal anak yang sah karena terbentur dengan asas monogami yang dianut dalam UU Perkawinan.

 

 

Tags: