Hapuskan Batas Waktu Pengajuan HUM ke MA
Utama

Hapuskan Batas Waktu Pengajuan HUM ke MA

Standar waktu yang digunakan untuk pemeriksaan permohonan kurang jelas. Ada yang diputus enam bulan sejak permohonan. Bahkan ada yang 50 bulan kemudian.

Oleh:
Mys/M-10
Bacaan 2 Menit
Hapuskan batas waktu pengajuan Hak Uji Materil ke MA. Foto: Sgp
Hapuskan batas waktu pengajuan Hak Uji Materil ke MA. Foto: Sgp

Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) berkaitan dengan revisi Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 terus dilakukan DPR. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan itu dinilai mengandung kelemahan sehingga perlu diperbarui. Panitia Khusus DPR sudah mengundang sejumlah akademisi hukum tata negara, Forum Konstitusi, dan lembaga swadaya masyarakat.

 

Salah satu yang mendapat perhatian dari narasumber yang diundang DPR adalah posisi Peraturan Daerah (Perda).Kewenangan Pemerintah membatalkan Perda diperdebatkan dan kemungkinan akan ditinjau ulang. Selain Perda, proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (UU). Selama ini pengujian terhadap Peraturan Pemerintah, Perpres, dan Perda terhambat karena tidak memenuhi syarat formil seperti batas waktu pengajuan.

 

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004, permohonan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak peraturan perundang-undangan ditetapkan. Dengan kata lain, jika sudah melewati tenggang waktu 180 hari, syarat formil pengajuan Hak Uji Materiil tidak terpenuhi.

 

Ke depan, tenggang waktu itu perlu dihapuskan, dan dimasukkan ke dalam revisi Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Masukan itu antara lain datang dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). M. Nur Solikhin, peneliti PSHK, menjelaskan batas waktu tersebut justru tidak memberikan keadilan kepada pemohon. Faktanya, acapkali implementasi suatu peraturan di bawah Undang-Undang baru berlaku efektif lebih dari 180 hari. Bahkan kerugian bagi pemohon HUM bisa saja timbul setelah lewat dari 180 hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan dimaksud.

 

Selain itu, lanjut Solikhin, penentuan batas waktu 180 hari merugikan pemohon yang berasal dari daerah. Permohonan HUM hanya diproses di Mahkamah Agung meskipun pemohon sudah mendaftar di pengadilan negeri setempat. Dengan kata lain, batas waktu itu bisa merugikan pemohon dari daerah.

 

Memang, jika pemohonan diselesaikan dalam waktu relatif singkat, pemohon merasa diuntungkan. Perkara pengujian PP No. 4 Tahun 2010 –mengenai Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi—diselesaikan dalam waktu lima bulan.

 

Tabel

Contoh Perkara HUM dan Durasi Penyelesaian

Jenis dan No. Peraturan

Putusan

Durasi penyelesaian

PP No. 4 Tahun 2010 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi

Dikabulkan sebagian

5 bulan

Perda Kab Tangerang No. 2 Tahun 2005 tentang Pembentukan 77 Kelurahan di Lingkungan Pemkab Tangerang

Ditolak

14 bulan

PP No. 45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekdes Sebagai PNS

Ditolak

25 bulan

Surat Edaran Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM No. 03 E/31/DJB/2009 

Kabul

5 bulan

Perda Kab. Deli Serdang No. 21 Tahun 2003 tentang retribusi pengawasan mutu bibit ayam ras niaga umum sehari

Tolak

50 bulan

Inpres No. 8 Tahun 2003 yang biasa disebut Inpres Release and Discharge

Tolak

47 bulan

  

Bagi pemohon, batas waktu terbatas pengajuan HUM terasa menganggu. Warga negara tidak bisa mengajukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan lama meskipun peraturan itu eksplisit bertentangan dengan Undang-Undang. Tidak demikian dengan hakim yang menangani perkara HUM. Mereka tak terikat waktu penyelesaian. Berdasarkan penelitian PSHK ada perkara HUM yang selesai dalam waktu enam. Tetapi ada juga yang putusan 50 bulan kemudian.

 

Dosen perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sony Maulana Sikumbang, lebih melihat pembatasan batas waktu pengajuan HUM bertujuan memberi kepastian hukum. Implikasinya berkaitan dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan.

 

Sidang terbuka

Sony mendukung gagasan bahwa proses sidang HUM di Mahkamah Agung perlu dilakukan secara terbuka seperti halnya sidang-sidang pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. “Saya setuju kalau itu dibuka,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Ketertutupan proses pemeriksaan dianggap sebagai hambatan. Sebab, pemohon dan termohon tidak secara langsung adu argumentasi. Akibatnya, kata Sony, ada kemungkinan hal-hal yang belum jelas di dalam berkas. “Semoga disadari hakim bahwa ada hal yang belum terjelaskan dalam berkas,” ujarnya.

 

Jika dilakukan lebih terbuka seperti sidang pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, akses masyarakat lebih terbuka. Karena itu, kata Solikhin, pelaksanaan pemeriksaan permohonan sebaiknya dilakukan terbuka dengan melibatkan pemohon dan termohon”.

Tags: