Advokat Masih Profesi Idaman
Berita

Advokat Masih Profesi Idaman

Kisruh organisasi tidak menyurutkan minat para sarjanan hukum untuk menjadi advokat.

Oleh:
M-10
Bacaan 2 Menit
Posisi profesi advokat sebagai idaman para sarjana hukum tak <br> terbantahkan meskipun kondisi organisasi advokat dirudung <br> masalah perpecahan. Foto: Ilustrasi (Sgp)
Posisi profesi advokat sebagai idaman para sarjana hukum tak <br> terbantahkan meskipun kondisi organisasi advokat dirudung <br> masalah perpecahan. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Setiap tahun ribuan sarjana hukum lahir dari fakultas-fakultas hukum di seluruh Indonesia. Menurut Rahmat SS Soemadipradja, pendiri firma hukum Soemadipradja & Taher (S&T), minat lulusan fakultas hukum untuk menjadi advokat di kantornya tak pernah surut. Setidaknya dalam setahun 600 lulusan fakultas hukum dengan indeks prestasi kumulatif di atas tiga membanjiri kantor S&T. Para pelamar ini memang kebanyakan datang dari kampus negeri. Kemudian, dari ratusan pelamar itu, tidak lebih dari lima belas orang yang diterima untuk bergabung.

 

Hal yang sama pun dikatakan oleh Ibrahim Senen, Managing Partner Dermawan and Co (DNC). Menurut Ibrahim, minimal 500 pelamar fresh graduate menyerbu kantornya setiap tahun. Namun dari sekian banyak lamaran, sebagian besar gugur ketika masuk tahap wawancara dan semakin mengerucut pada tahapan tes.

 

“Untuk training biasanya hanya lima belas orang saja dan kemudian yang menjadi lawyer delapan orang. Tingkat kompetisi memang sangat besar. Kita membatasi untuk memilih para pelamar sesuai standar yang dipasang kantor. Kita mencari bukan saja yang baik secara akademis melainkan juga memiliki ketahanan mental dan softskill yang cakap. Sebab, dari lawyeryang sudah bergabung pun kemudian yang bisa bertahan tidak banyak,” imbuh Ibrahim.

 

Menurut Ibrahim, faktor utama yang menggugurkan kebanyakan pelamar di kantornya adalah kemampuan hukum dasar dan pola pikir. Ibrahim mengakui, banyak juga sarjana hukum baru yang lulus dengan nilai baik tetapi kemampuan hukum dasarnya tidak sesuai harapan kantornya.

 

“Kemampuan hukum dasar itu kan sangat penting, tetapi banyak yang ketika kita minta untuk menjelaskan pengetahuan hukum dasar mereka sangat tidak memuaskan. Masak, jawaban yang dipakai ‘pokoknya begitu...’. Lah, yang seperti ini bagaimana bisa menjadi lawyer yang baik?” tandas Ibrahim lagi.

 

Manajer Kemahasiswaan dan Alumni FHUI Parulian Aritonang mengakui bahwa berdasarkan pengamatannya preferensi mahasiswa hukum memang masih cenderung memilih untuk menjadi advokat. Parulian melihat motivasi utamanya tetap ekonomi dan kebanggan status profesi. Padahal, sejak lima tahun terakhir pihak FHUI telah membuka diri untuk melakukan kerja sama dengan instansi pemerintah dan TNI dalam rangka memberikan pilihan profesi hukum lain bagi mahasiswanya.

 

“Tetap saja saya melihat advokat menjadi pilihan profesi yang sangat diminati karena secara ekonomi mahasiswa melihat penghasilannya sangat menjanjikan. Ini sangat berkaitan dengan gaya hidup mahasiswa yang kebanyakan berasal dari lingkungan perkotaan. Tetapi saya lihat biasanya setelah lima tahun menjadi advokat ada kecenderungan untuk alih profesi,” tutur Parulian lagi.

 

Ibrahim mengungkapkan, memang hanya sedikit lawyer yang bisa bertahan lama di kantornya. Ia menilai hal ini merupakan korelasi dengan pola pikir para advokat muda. “Kebanyakan advokat muda pola pikirnya instan sekali. Inginnya cepat kaya, inginnya cepat sukses. Ya, tidak bisa seperti itu. Advokat juga harus hidup seimbang, ada waktu santai dan bersosialisasi. Tidak semua waktu kita pakai untuk bekerja, kan,” tegas Ibrahim.

 

Posisi profesi advokat sebagai idaman para sarjana hukum memang tak terbantahkan lagi. Animo yang tinggi bahkan tidak surut meskipun kondisi organisasi advokat sedang dirudung masalah perpecahan. Seorang panitia rekrutmen dari Lubis, Ganie, and Surowidjojo (LGS) mengatakan kekisruhan yang terjadi pada organisasi advokat tidak memiliki dampak yang signifikan. Dalam perekrutan advokat baru, organisasi sepertinya tidak menjadi pertimbangan para peminat. Hal itu dikembalikan lagi menjadi preferensi pribadi.

 

Ibrahim juga mengatakan bahwa faktor seorang sarjana hukum diterima bergabung dengan kantornya atau tidak tergantung pada kemampuan akademis dan keterampilan berbicaranya. “Kita serahkan saja hal itu kepada personal. Secara institusi kami tidak melihatnya sebagai sebuah faktor pengaruh. Saya juga melihat kisruh organisasi ini tidak mempengaruhi jumlah peminat yang datang melamar,” tuturnya.

 

Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan pula oleh Parulian. Ia menegaskan bahwa organisasi menjadi pilihan pribadi, tidak berkaitan dengan minat profesi mahasiswa. “Justru saya menilai positif soal kisruh ini. Sebab, masing-masing organisasi jadi semakin membuka banyak informasi bagi mahasiswa,” pungkasnya.

 

Tags: