F-PPP: Bubarkan Ahmadiyah, Pertahankan FPI
Utama

F-PPP: Bubarkan Ahmadiyah, Pertahankan FPI

Ahmadiyah dinilai telah melanggar Pasal 1 dan Pasal 2 UU Penodaan Agama.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
F-PPP desak Presiden SBY bubarkan Ahmadiyah.<br>Foto: http://ppp-kabtegal.co.cc
F-PPP desak Presiden SBY bubarkan Ahmadiyah.<br>Foto: http://ppp-kabtegal.co.cc

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hasrul Azwar menegaskan bahwa fraksinya meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk membubarkan Ahmadiyah sebagai organisasi maupun sebagai aliran. Ia mengatakan Jamaah Ahmadiyah Indonesia telah melanggar UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

 

“Ahmadiyah telah melanggar Pasal 1 dan Pasal 2 UU Penodaan Agama,” ujar Hasrul dalam konferensi pers di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (18/2).

 

Pasal 1 berbunyi Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.

 

Anggota Komisi III dari PPP Ahmad Yani menambahkan proses pembubaran Ahmadiyah, berdasarkan peraturan perundang-undangan, tak memerlukan putusan pengadilan atau pun fatwa dari pengadilan. Menurut Yani, cukup berdasarkan tindakan oleh Presiden. “Ini pembubaran aliran sesat, bukan pembubaranormas,” tegasnya.

 

Pasal 2 ayat (1) menyatakan bila ada yang melanggar ketentuan Pasal 1 maka akan diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Ini bila pelanggaran dilakukan oleh seseorang.

 

Bila pelanggaran dilakukan oleh sebuah organisasi atau suatu aliran kepercayaan, berdasarkan Pasal 2 ayat (2), Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang.

 

“Keputusan dibuat oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri,” ujar Yani menjelaskan isi pasal tersebut.

 

Hasrul menjelaskan berdasarkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Ahmadiyah dan Komisi VIII DPR, Rabu-Kamis kemarin (16-17/2), telah jelas penyimpangan ajaran Ahmadiyah. “Dalam RDP kemarin, Ahmadiyah menegaskan Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi. Dan Tadzkiroh sebagai wahyu atau semacam kitab suci,” ujarnya.

 

Padahal, dalam rapat dengan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem), Ahmadiyah hanya mengakui Mirza sebagi pembaharu dan Tadzkiroh bukan sebagai kitab suci. “Ini sudah jelas penyimpangannya,” tambah Hasrul.

 

Bila Fraksi PPP tegas meminta Ahmadiyah dibubarkan, perlakuan berbeda diberikan kepada Front Pembela Islam (FPI). “Kami tak setuju FPI dibubarkan. FPI itu aset bangsa,” ujar Hasrul. Ia bahkan meminta Pemerintah harus berkoordinasi dan melakukan pembinaan terhadap FPI.

 

Hasrul menegaskan bila FPI dibubarkan, Pemerintah justru tidak akan tenang. “Pemerintah tak akan tenang karena sikap FPI yang ingin membubarkan Ahmadiyah adalah aspirasi akar rumput,” ujarnya.

 

Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat mempertanyakan mengapa isu pembubaran dan kriminalisasi penganut Ahmadiyah baru dilontarkan sekarang. “Undang-undangnya itu kan sudah berlaku sejak 1965,” ujarnya kepada hukumonline. Bila hal ini dilakukan, ia menghitung akan ada 500 ribu penganut Ahmadiyah yang akan di penjara.

 

Nurkholis menilai penegak hukum akan sulit membuktikan pelanggaran yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap SKB tiga menteri. Yakni, Ahmadiyah tak boleh menyebarkan ajarannya. “Debatnya nanti, seberapa bukti yang dimiliki untuk menunjukkan bahwa Ahmadiyah melakukan kegiatan penyebaran-penyebaran ajarannya itu,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, Nurkholis berpendapat bila UU Penodaan Agama ini mau digunakan maka justru pihak FPI yang kerap melakukan tindakan kekerasan yang dapat dikriminalkan. Pasal 4 yang memasukan Pasal 156a KUHP mengancam pidana maksimal lima tahun bagi seseorang yang melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. 

 

Berdasarkan catatan hukumonline, UU Penodaan Agama ini pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Putusannya, Majelis Hakim Konstitusi menolak permohonan ini. Namun, majelis menyarankan undang-undang ini sebaiknya direvisi agar lebih jelas substansinya. Dengan begitu, maka tidak akanmenimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktek.

 

Dalam UU Penodaan Agama ini, setidaknya ada enam agama yang diakui di Indonesia. Yakni, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Sementara, agama-agama lain seperti Yahudi, Zarazustrian, Shinto, dan Thaoism mendapat jaminan dan dibiarkan ada di Indonesia.

 

 

Tags: