Kerja Sama, Kunci Penanganan Transnational Crimes
Konferensi IAP:

Kerja Sama, Kunci Penanganan Transnational Crimes

Untuk masalah pengembalian aset, Jaksa Agung berharap konferensi ini dapat memfasilitasi kerja sama lintas negara dan memperpendek jalur birokrasi yang harus dihadapi dalam upaya kerja sama lintas negara.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung berharap melalui IAP birokrasi penanganan<br> transnational crimes lebih mudah. Foto: Sgp
Jaksa Agung berharap melalui IAP birokrasi penanganan<br> transnational crimes lebih mudah. Foto: Sgp

Jaksa Agung Basrief Arief berharap jalur birokrasi yang berbelit-belit dalam penanganan kejahatan lintas negara (transnational crime) dapat dipangkas. Contohnya dalam penanganan kasus korupsi dimana pelakunya menyimpan hasil korupsinya di negara lain. Biasanya, penanganan kasus korupsi itu terhambat oleh otoritas atau yurisdiksi negara lain.

 

Saat memberikan sambutan dalam Konferensi International Association of Prosecutor (IAP) ke-7, Kamis (17/30), Basrief menyatakan kerja sama lintas negara perlu dikembangkan demi terwujudnya penegakan hukum. Karena, negara mana pun tentu tidak akan mau dikategorikan sebagai negara yang nyaman bagi para pelaku kejahatan.

 

Untuk itu, ada beberapa model hukum internasional yang dapat digunakan untuk menyikapi kendala-kendala dalam penanganan kejahatan lintas negara, seperti melalui sarana pengajuan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (Mutual Legal Assistant –MLA) dan ekstradisi.

 

Kerja sama semacam ini, menurut Basrief, dapat dilakukan karena ada beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia. Beberapa di antaranya adalah United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 sebagaimana telah disahkan dengan UU No 7 Tahun 2006, dan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNCTOC) Tahun 2000 sebagaimana telah disahkan dengan UU No 5 Tahun 2009.

 

Dengan turut serta dan meratifikasi konvensi tersebut, Basrief mengatakan para anggota mendapatkan manfaat dan fasilitas kerja sama untuk penanganan kejahatan yang terjadi lintas negara. Contohnya, hingga saat ini, Indonesia telah bekerja sama dalam proses ekstradisi sejumlah warga negara asing, seperti Charles Alfred Barnett (warga negara Australia), Hadi Ahmadi (warga negara Iran), Robert James Mc Nice (warga negara Selandia Baru), dan Timothy Geoffrey Lee (warga negara Inggris dan Australia).

 

Kemudian, ada pula beberapa perkara ekstradisi WNI yang telah dimintakan Kejaksaan Agung ke beberapa negara, di antaranya Australia untuk perkara atas nama Hendra Rahardja dan Adrian Kiki Ariawan yang saat ini dalam tahap judicial review di Pengadilan Federal Australia.

 

Selain kerja sama terkait ekstradisi, Basrief juga menyatakan, dalam hal bantuan hukum timbal balik Indonesia telah menjalin kerja sama multilateral dan bilateral. Dengan adanya kerja sama ini, bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian maupun prinsip reciprocity.

 

Dan, sejumlah negara telah menggunakan fasilitas kerja sama ini, seperti Kejaksaan Agung Belanda sempat meminta bantuan dalam hal permintaan keterangan sejumlah saksi yang merupakan WNI untuk kasus penyelundupan manusia yang sedang dalam proses sidang di Den Haag.

 

Caranya, dengan memfasilitasi Kejaksaan Belanda memeriksa para saksi yang berada di lima kota di Indonesia. Yakni, pihak Kejaksaan Belanda mengadakan pemeriksaan menyerupai sidang dengan membawa hakim komisaris, panitera, jaksa, dan pengacara, dimana dalam setiap pemeriksaan tersebut selalu didampingi jaksa dari Kejaksaan RI.

 

Hal ini, menurut Basrief, hanya salah satu contoh dari pemanfaatan fasilitas kerja sama. Yang mana juga telah dicoba dimanfaatkan oleh pihak Indonesia untuk mengetahui dan mengembalikan aset-aset koruptor yang berada di beberapa negara.

 

Namun, dalam pelaksanaannya, kerja sama itu tidak selalu berjalan mulus. Basrief mengakui, prosedur bantuan hukum timbal balik ini memang mempunyai proses yang cukup panjang dan berbelit. Misalnya saja dalam kasus aset Bank Century di Dresdner Bank, Swiss. Dimana, Pemerintah Indonesia telah meminta bantuan otoritas Swiss untuk memblokir dan menyita aset terpidana korupsi Bank Century, Hesyam Al Warraq dan Rafat Ali Risvi sebesar AS$155,9 juta yang disimpan di Dresdner Bank (sekarang bernama LGT Bank).

 

Namun, karena perbuatan Hesyam dan Rafat hanya diketagorikan sebagai pelanggaran administrasi, maka Pemerintah Indonesia sedang mengupayakan gugatan perdata. Sementara, untuk aset yang berada di Hongkong, Indonesia sudah mengajukan MLA, dan kini Kementerian Kehakiman Hong Kong mengaku sedang melakukan langkah-langkah yang diperlukan guna memproses pembekuan aset-aset terkait Bank Century.

 

Kemudian, dalam kasus aset Iriawan Salim (Bank Global). Pemblokiran atas aset Iriawan di Swiss senilai AS$9,7 juta telah dicabut otoritas Swiss pada bulan Februari 2010 dengan alasan Pemerintah Swiss tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mempertahankan pemblokiran aset, karena Pemerintah Swiss belum bisa mengaitkan hubungan antara aset yang disimpan dengan tindak pidana yang disangkakan.

 

Lalu, dalam kasus aset ECW Neloe (Bank Mandiri). Dimana, aset Neloe sebesar AS$5,2 juta belum dapat dikembalikan, karena putusan perkara tindak pidana atas nama Neloe tidak dapat digunakan sebagai dasar permohonan perampasan aset, mengingat perbuatan Neloe di Swiss hanya dikategorikan sebagai pelanggaran administrasi.

 

Ada pula kasus Joko Tjandra. Dimana Kejaksaan RI telah mengajukan permintaan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana ke Singapura guna melokalisir keberadaan Joko di Singapura.

 

Dan, terakhir, kasus teranyar, adalah kasus Gayus Halomoan P Tambunan. Dimana, Pemerintah Indonesia sedang dalam proses pengajuan bantuan hukum timbal balik (MLA) ke beberapa negara seperti Singapura, Hong Kong, Macau, dan Malaysia guna melokalisir apakah yang bersangkutan pernah memasuki wilayah tersebut dan menyimpan aset di negara-negara ini.

 

Dengan adanya fakta bahwa jalur yang harus ditempuh dalam upaya kerja sama lintas negara cukup panjang dan berbelit-belit. Maka, Basrief berharap konferensi IAP akan memfasilitasi kerja sama, serta khususnya dalam pengembalian aset, dapat dipersingkat prosedurnya untuk menghindari kemungkinan pelaku kejahatan dapat mengalihkan hasil kejahatan atau menyembunyikan hasil kejahatannya ke negara lain. Selain itu, konferensi IAP ini diharapkan dapat memperkuat komitmen negara peserta untuk melaksanakan penegakan hukum, khususnya untuk penanganan kejahatan lintas negara.

 

Masalah di negara lain

Memang, konferensi IAP, menurut General Counsel IAP Elizabeth Howe, bertujuan untuk saling memaparkan berbagai kendala yang dialami setiap negara peserta dalam penanganan kejahatan lintas negara. Tentunya, setiap negara memiliki yurisdiksi yang berbeda-beda dan ada beberapa kasus kejahatan yang terjadi lintas negara. Seperti, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Thailand dan Costa Rica, kemudian kasus penjualan anak dengan menggunakan website yang basisnya berada di Malaysia. Dan, kemudian si pelaku membuat akun bisnis yang berserver di California dan mencuci uangnya di Caymand Island.

 

Dengan jenis kejahatan yang seperti ini, tentunya dibutuhkan sebuah forum kerja sama antara penegak hukum. Dan, dalam konferensi IAP ini, Elizabeth berharap dapat membawa seluruh negara peserta untuk mencapai kerja sama yang baik antara Kejaksaan satu negara dengan negara lainnya. Tentunya, kerja sama ini untuk memperluas jaringan dalam rangka penanganan kejahatan yang berskala global.

 

Benar saja, Indonesia memang sedang berupaya dalam pengembalian aset para pelaku kejahatan yang berada di luar negeri. Sementara, Belanda saat ini fokus dalam penanganan cybercrime. Jaksa Agung Belanda, Harm Brouwer menyatakan negara Belanda saat ini sedang hangat-hangatnya dengan peristiwa kejahatan dunia maya. Mulai dari kejahatan dunia maya yang tradisional, sampai kejahatan dunia maya modern.

 

Untuk menangani kejahatan semacam itu, Belanda memiliki satu strategi yang dinamakan Cyberlaw Enforcement 2.0. Karena, kasus kejahatan dunia maya ini juga telah merambah pada pornografi anak dan pencurian informasi data kartu kredit. Selain itu, karena ekonomi dan sosial di Belanda bertumpu pada sistem internet, maka cenderung menjadi sasaran pelaku kejahatan dunia maya. Tengok saja, pada tahun 2009, tercatat 25 juta program pembobol program di internet. Dan, pelaku kejahatan dunia maya ini bisa di belahan dunia manapun.

 

Maka dari itu, Harm Brouwer merasa dalam penegakan hukum kejahatan dunia maya membutuh kerja sama antar negara. Salah satu yang sudah ditelurkan dalam kerja sama tersebut adalah Budapest Convention of the Council of Europe. Konvensi ini bertujuan untuk mengharmonisasikan hukum substansi yang berada di wilayah kejahatan dunia maya, untuk mempromosikan sebuah investigasi baru, dan untuk merancang penyidikan yang cepat dan efektif dalam kerja sama internasional.

 

Cakupan dari konvesi ini tidak hanya berlaku di beberapa negara Eropa, tapi juga di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Afrika Selatan, dan akan bergabung Australia, Meksiko dan Filipina. Tetapi pengaruh dari harmonisasi dalam konvesi ini tidaklah cukup. Contohnya, seperti yang diungkapkan dalam penelitian di Kanada, yakni Koobface Gang. Sebenarnya konvensi ini jauh dari sempurna, karena Budapest Convention sudah terlihat usang.

 

Di Eropa, Harm Brouwer menyatakan, pihaknya berusaha untuk menghilangkan gap terkait aturan yang ada di Eropa. Tapi nyatanya, itu tidak akan membantu terhadap negara yang berada di luar Eropa. Untuk menghadapi kejahatan dunia maya yang modern, otoritas Belanda membutuhkan kerja sama investigasi antar negara.

 

Sebagai contoh, dimana polisi Eropa memiliki hak dan dapat menangkap dengan cepat ketika perampok bank yang menyeberang ke negara lain. Mereka tidak harus berhenti dan meminta izin untuk memasuki suatu negara. Harm Brouwer menilai hal ini akan sulit diterima apabila yang diburu adalah pelaku kejahatan dunia maya.

Tags: