Kerugian Pemohon Masuk Ranah Implementasi
Uji UU Kepailitan

Kerugian Pemohon Masuk Ranah Implementasi

Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU justru memberikan perlindungan yang seimbang bagi para pihak atas harta pailit.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi. (Sgp)
Ilustrasi Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi. (Sgp)

Kerugian konstitusional yang dialami para pemohon atas berlakunya Pasal 15 ayat (3) UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak terkait konstitusionalitas berlakunya norma. Namun, menyangkut kepercayaan para pihak yakni antara kreditor, debitor, pihak lain, dengan kurator dalam pengurusan harta pailit dalam praktik.

 

Demikian pendapat pemerintah yang disampaikan Direktur Litigasi Kemenkumham Mualimin Abdi dalam menanggapi permohonan pengujian Pasal 15 ayat (3) UU Kepailtan dan PKPU yang dimohonkan beberapa kurator di Gedung MK Jakarta, Selasa (22/3).

 

Menurut Mualimin, penggantian pemohon selaku kurator bukan disebabkan adanya penafsiran yang keliru yang dilakukan Pengadilan Niaga Jakarta, melainkan adanya permohonan dari debitor (Perkara No. 22/Pailit/2010/PN Jakpus) karena alasan-alasan tertentu sesuai Pasal 71 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Dalam hal ini, Pengadilan Niaga bersifat pasif atau menunggu yaitu hanya mengabulkan permohonan penggantian kurator yang diajukan kreditor, debitor, atau pihak lain.

 

Karena itu, alasan penggantian kurator yang diajukan para pihak tidak digantungkan terhadap ketentuan yang diuji, tetapi kepercayaan terhadap pekerjaan kurator untuk pengurusan atau pemberesan harta pailit menjadi pijakan para pihak. Sama hal pencabutan surat kuasa khusus yang dilakukan pemberi kuasa terhadap penerima kuasa yang sewaktu-waktu dapat dilakukan jika kepercayaan sudah tidak ada lagi.

 

“Pemerintah berpendapat dalil pemohon yang menyatakan telah timbul kerugian hak konsitusionalnya tidak terjadi secara faktual atau potensial,” tutur Mualimin.

 

Ia menegaskan Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU telah memberi kepastian dalam hal pengurusan/pemberesan harta pailit agar dapat diselesaikan dengan baik, cermat, tepat waktu, profesional, saling percaya dan fairness. Semuanya itu justru untuk memberikan perlindungan yang seimbang bagi para pihak atas harta pailit. Sebab, jika kepercayaan tidak ada, dipastikan kurator tidak independen dan fair.    

 

“Pasal 15 ayat (3) itu juga tidak memberikan perlakuan yang diskriminatif terhadap para pemohon dan justru memberikan keadilan bagi para pihak yang berkepentingan serta tidak menghalangi para pemohon atas pekerjaan yang layak,” jelasnya. “Karenanya, Pasal 15 ayat (3) tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat(1), Pasal 28I ayat (2), UUD 1945.”

 

Permohonan ini diajukan oleh tiga orang kurator yakni Endang Srikarti Handayani, Sugeng Purwanto, dan Sutriyono. Menurutnya, Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU dalam pratiknya telah ditafsirkan luas dan bias. Seolah-olah kurator yang ditunjuk haruslah tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan  kreditor atau debitor bahkan kuasanya.      

 

Pasal itu mensyaratkan kurator harus independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor dan kreditor yang mengakibatkan para kurator tidak dibayar jasanya (fee). Ketentuan itu dinilai merugikan konstitusional pemohon khususnya kerugian secara ekonomi yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan diskriminatif.

 

Menurut pemohon, seharusnya pasal itu diberikan penjelasan secara rinci dengan pembatasan yang jelas mengenai larangan hubungan antara kurator dan debitor atau kreditor dalam perkara kepailitan. Karena itu, Pasal 15 ayat (3) UU Kepailitan dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat(1), Pasal 28I ayat (2), UUD 1945. Karena itu, pemohon meminta MK menghilangkan frasa yang menyebabkan kurator tidak dibayar fee-nya.

Tags: