‘Rapor Biru’ Implementasi UNCAC Indonesia
Fokus

‘Rapor Biru’ Implementasi UNCAC Indonesia

Apabila revisi KUHAP disahkan, maka sudah 80 persen implementasi UNCAC di Indonesia.

Oleh:
Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
‘Rapor Biru’ Implementasi UNCAC Indonesia
Hukumonline

Tiga tahun. Itulah waktu yang dibutuhkan Pemerintah Indonesia untuk mengikatkan diri secara resmi pada United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Konvensi ini dirumuskan pertama kali di Merida, Meksiko pada tanggal 9-11 Desember 2003. Tepat pada 18 April 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani UU No 7 Tahun 2006 sebagai tanda ratifikasi UNCAC.

 

Terbitnya beleid itu semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah bagian dari gerakan global melawan korupsi. Namun, UNCAC tidak diterima secara utuh oleh Indonesia. Pasal 1 ayat (1) UU No 7 Tahun 2006 menyatakan “Mengesahkan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa”.

 

April tahun ini, undang-undang ratifikasi UNCAC memasuki ulang tahun ke-5. Sejauh ini, Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengusung semangat pemberantasan tindak pidana korupsi. Dua yang utama bahkan lahir jauh sebelum UNCAC hadir. Indonesia telah menerbitkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi pada awal tahun 1970-an (UU No 3 Tahun 1971). Undang-undang ini kemudian diperbarui dengan terbitnya UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 Tahun 2001.

 

Berikutnya, sebagai landasan terbentuknya komisi anti korupsi pertama di Indonesia, terbit UU No 30 Tahun 2002. Berdasarkan undang-undang ini juga lalu Indonesia membentuk pengadilan khusus korupsi. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya memerintahkan agar pembentukan pengadilan khusus korupsi harus didasarkan pada undang-undang tersendiri. Oleh karenanya, kemudian lahir UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

 

Undang-undang terkait pemberantasan korupsi sudah cukup banyak diproduksi legislator, kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi pun semakin bertaji, tetapi apakah program pemberantasan korupsi di Indonesia sudah sejalan dengan UNCAC? Kunjungan dua ahli asal Inggris dan dua ahli asal Uzbekistan yang tergabung dalam Tim Peninjau Ulang UNCAC dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mungkin dapat memberikan jawaban atas pertanyaan di atas.

 

Selama tiga hari, 14-16 Maret 2011, keempat ahli itu bertandang ke Kantor KPK di bilangan Kuningan. Mereka hendak melakukan review terhadap implementasi UNCAC di Indonesia. Sebelumnya, tim yang sama juga pernah berkunjung ke Indonesia, Agustus tahun lalu. Dalam menjalankan tugasnya, Tim Peninjau Ulang menggunakan beberapa tolok ukur, di antaranya sektor regulasi. 

    

Selain KPK, Tim Peninjau Ulang juga berkomunikasi dengan sejumlah lembaga penegak hukum lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Luar Negeri. Kalangan LSM juga dilibatkan dalam proses review implementasi UNCAC ini.

 

Hasilnya, implementasi UNCAC di Indonesia ternyata cukup “menggembirakan”. Tim, kata Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sudjanarko, menyimpulkan regulasi Indonesia sudah mengadopsi UNCAC hampir 80 persen. Bahkan, lanjutnya, bisa mencapai angka 90 persen jikalau revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berhasil disahkan.

 

“Kalau nanti KUHAP-nya ditandatangani (disahkan, red), kita hampir 80-90 persen. Karena KUHAP kita juga meng-adopt artikel-artikel konvensi. Itu semangatnya bagus,” ujar Sudjanarko yang juga ditunjuk sebagai National Vocal Pointdalam kegiatan review kali ini.

 

Dia menambahkan hasil review implementasi UNCAC nantinya dijadikan sebuah rencana aksi bagi Indonesia untuk melakukan perbaikan di beberapa sektor, khususnya regulasi. Misalnya, melalui peraturan perundang-undangan di sektor keuangan dan perbankan, dapat dimasukkan klausul pencegahan tindak pidana korupsi. “Paling tidak kita punya potret yang legal karena ini (review, red) dilakukan oleh PBB,” Sudjanarko berharap.

 

Busyro Muqoddas, Ketua KPK, mengatakan review Tim PBB dapat menjadi masukan untuk memperbaiki implementasi UNCAC. “Hasil akhir peninjauan ulang diharapkan bisa mengidentifikasi dan memberikan masukan untuk perbaikan implementasi UNCAC di Indonesia, ujarnya.

 

Pekerjaan Rumah

Berangkat dari review implementasi UNCAC ini, kata Sudjanarko, KPK juga menyadari bahwa beberapa substansi UNCAC masih belum terserap. Misalnya, terkait keterlibatan warga negara asing dalam tindak pidana korupsi. Selain itu, yang belum diatur dalam regulasi Indonesia adalah tindak pidana korupsi di sektor swasta dan mekanisme penjebakan.

 

“Kalau di kita kan sekarang (jebakan, red) hanya boleh terkait kasus drugs atau narkotik, tapi korupsi belum. Padahal, Konvensi UNCAC memperbolehkan hal itu,” kata Sudjanarko.

 

Beberapa substansi UNCAC yang belum terjaring regulasi Indonesia sebenarnya berpeluang dimasukkan dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) yang tengah disiapkan pemerintah. Sedari awal, RUU ini memang diproyeksikan untuk menyerap sebanyak mungkin substansi UNCAC. Soal keterlibatan warga negara asing dalam tindak pidana korupsi, misalnya, akan diatur dalam RUU tersebut.

 

Selain itu, hal baru lainnya yang belum tercantum dalam undang-undang yang kini berlaku adalah aturan tentang benturan kepentingan dan korupsi di sektor swasta. Sayang, RUU yang banyak diharapkan kalangan penggiat anti korupsi ini “tersendat” proses pembahasannya. Beberapa waktu lalu, pemerintah memutuskan untuk menarik kembali draf RUU Tipikor dari Sekretaris Negara lantaran diprotes sejumlah kalangan, termasuk KPK.

 

Draf versi pemerintah dituding berpotensi melemahkan program pemberantasan korupsi, khususnya taji KPK. Beberapa indikator yang dianggap mengarah pada pelemahan program pemberantasan korupsi adalah rencana penghilangan kewenangan penuntutan pada KPK –meski akhirnya urung dimasukkan- atau penghapusan pidana minimal. Ekstremnya, RUU Tipikor dituding berpotensi suburkan korupsi.

 

Di satu sisi, penarikan RUU Tipikor perlu disambut positif dalam arti demi menciptakan draf RUU yang lebih baik dan sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Namun, di sisi lain, penarikan ini juga perlu diwaspadai agar jangan berujung pada pembatalan. Pasalnya, semangat di balik penyusunan RUU Tipikor justru positif yakni mengakomodir semaksimal mungkin nilai-nilai UNCAC.

 

Pada bagian penjelasan RUU Tipikor, berdasarkan dokumen yang diperoleh hukumonline, secara eksplisit disebutkan bahwa “Sebagian besar ketentuan di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 telah diadopsi di dalam undang-undang ini ditambah dengan rumusan baru untuk dapat menjangkau berbagai modus operandi perbuatan korupsi, maka disusun rumusan tindak pidana korupsi yang lebih lengkap dan sesuai dengan asas-asas hukum pidana yang berlaku di Indonesia”.

 

Masih terkait UNCAC, Indonesia juga masih memiliki “pekerjaan rumah” RUU Perampasan Aset. Berdasarkan informasi situs www.dpr.go.id, RUU ini termasuk dalam daftar RUU prioritas tahun 2011. “Jadi kalau itu sudah disahkan baru bisa dipegang dan dijadikan working document,” ujar Sudjanarko.

 

Di luar KPK, instansi lain berharap review yang dilakukan Tim PBB membuahkan dampak positif. Direktur Hukum Internasional Kementerian Hukum dan HAM Chairijah bahkan berharap kegiatan review implementasi UNCAC di Indonesia dapat menjadi bekal untuk bertukar informasi dengan negara lain. Apalagi, hasil review Tim PBB menyatakan regulasi Indonesia sudah cukup banyak mengakomodir UNCAC.

 

Sementara, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus HM Amari berharap review PBB bisa menjadi cambuk bagi aparat penegak hukum Indonesia untuk lebih mengoptimalkan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Amari berpendapat aspek pencegahan seharusnya dikedepankan ketimbang penindakan. “Berbagai masukan yang disampaikan tentu menjadi referensi bagi Kita semua nantinya,” ujarnya.

 

Tags: