Kartini di Meja Hijau, Siapa Takut?
Resensi

Kartini di Meja Hijau, Siapa Takut?

Buku ini memuat perdebatan di kalangan ahli mengenai kedudukan perempuan sebagai hakim. Praktik di Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara lain.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Kartini di meja hijau siapa takut. Foto: Sgp
Kartini di meja hijau siapa takut. Foto: Sgp

Bolehkah seorang perempuan menjadi wakil Tuhan di muka bumi ini? Kalau tidak, apa salahnya perempuan jika diangkat menjadi hakim? Kalau boleh, apa pertimbangan dan dalilnya? Di Indonesia, siapa hakim perempuan pertama setelah kemerdekaan yang bertugas di Peradilan Agama?

 

Pertanyaan-pertanyaan ini bisa disebut klasik dan selama bertahun-tahun terus menjadi pokok perdebatan di kalangan ahli. Dalam konteks sistem peradilan Islam, perdebatan ini menjadi salah satu topik hangat di kalangan ulama. Mereka memperdebatkan apakah seorang perempuan berhak menduduki jabatan publik, apalagi jabatan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa.

 

Ada banyak kajian dengan beragam sudut pandang. Ada kelompok yang berpandangan perempuan tak terhalang sama sekali menjadi hakim perempuan; sebagian mengangap boleh menjadi hakim asalkan hanya untuk perkara perdata (muamalah). Tetapi mayoritas ulama menganggap syarat untuk menjadi hakim adalah laki-laki. Pendapat mana yang benar, tergantung sudut pandang mana yng digunakan.

 

Sebagai seorang perempuan yang berprofesi sebagai hakim, pertanyaan-pertanyaan di atas telah membuat penasaran Djazimah Muqoddas. Hakim yang kini bertugas di Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta itu mencari dalil-dalil dan mengamati praktik di beberapa negara Muslim seperti Sudan, Pakistan, dan Malaysia. Tema inilah yang kemudian diangkat perempuan kelahiran 20 Mei 1954 itu ke dalam disertasinya sewaktu mengambil doktor hukum Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Setelah melalui sedikit penyesuaian, LkiS Yogyakarta menerbitkan disertasi Djazimah menjadi buku.

 

Sistem hukum Indonesia memang semakin mengadopsi keterlibatan perempuan. Sejak pertama kali hakim perempuan diangkat, jumlahnya terus bertambah hingga kini. Penulis mencoba menelusuri bahwa Arifiyah Chairi adalah perempuan pertama di Indonesia yang bertugas sebagai hakim Peradilan Agama. Ia bertugas di Tegal. Arifiyah adalah ibu dari mantan hakim agung, Imam Anis. Tetapi data valid tentang kedudukan Arifiyah belum ditemukan. Berdasarkan penelusuran dokumen yang dilakukan penulis, hakim perempuan Peradilan Agama pertama yang diangkat melalui SK Menteri Agama adalah Ny Prayitno. Ia diangkat sebagai hakim Peradilan Agama pada 24 Juli 1957 (hal. 161).

 

Kongres Wanita Indonesia (Kowani) ikut mendorong pengakuan terhadap hakim perempuan. Setahun setelah pengangkatan Ny Prayitno, Departemen Agama menyelenggarakan kursus dan ujian hakim untuk Peradilan Agama. Hanya 28 orang perempuan yang dinyatakan lolos (hal. 162). Puluhan tahun kemudian, perempuan bukan saja menjadi hakim biasa tetapi juga sudah menjadi ketua Pengadilan Agama atau Pengadilan Tinggi Agama (hal. 182).

 

Kontroversi Hakim Perempuan

Pada Peradilan Islam di Negara-Negara Muslim

 

Penulis: Dr. Hj. Djazimah Muqoddas, SH. M.Hum

Penerbit: LKiS Yogyakarta

Tahun: 2011

Halaman: xxx + 298

 

Perubahan yang terjadi, termasuk dalam peraturan perundang-undangan, ikut mendorong bertambahnya perempuan yang berkiprah di Peradilan Agama. Persyaratan hakim tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin, melainkan pada kompetensi calon. Kalaupun selama ini masih ada yang berpandangan perempuan tak bisa jadi hakim, bagi penulis, pemikiran demikian lebih didasarkan pandangan patriarkis. Pandangan patriarkis acapkali pula mengekang penerjemahan teks-teks Kitab Suci sesuai dengan perspektif patriarkal.

 

Bagi penulis, tidak ada satu pun dalil yang kuat (qath’iyy) yang melarang perempuan untuk menjadi hakim di Peradilan Agama. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk menjadi hakim dalam segala bidang sepanjang ia mampu menegakkan kebenaran dan keadilan (hal. 263-264).

 

Penulis berharap kajian ini bisa menjadi bahan pertimbangan saat membuat kebijakan (affirmative action) untuk pemenuhan kuota hakim perempuan di Peradilan Agama. Namun, penulis juga mengakui substansi yang ditulis masih membutuhkan kajian-kajian lanjutan. Lepas dari kemungkinan kelamahan dan kesalahan, buku ini tetap menarik untuk dibaca, terutama oleh mereka yang berkiprah di Peradilan Agama dan kajian-kajian perempuan.

 

Mudah-mudahan bermanfaat.

Tags: