Setahun UU KIP, Banyak Celah Menuju Meruya
Fokus

Setahun UU KIP, Banyak Celah Menuju Meruya

Idealnya, keterbukaan informasi bisa menopang upaya pemberantasan korupsi dan pembentukan pemerintahan yang bersih. Respons Badan Publik belum sepenuhnya menggembirakan. Komisi Informasi terbelit masalah.

Oleh:
Tim Redaksi
Bacaan 2 Menit
Komisi Informasi terbelit masalah respon badan publik belum<br> menggembirakan. Foto: Sgp
Komisi Informasi terbelit masalah respon badan publik belum<br> menggembirakan. Foto: Sgp

Tepat pada 30 April 2011, UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) berulang tahun yang pertama. Tak ada pesta meriah atau potongan nasi tumpeng. Para komisioner, Sekretaris, dan staf Komisi Informasi –komisi yang dibentuk atas amanat UU KIP— sibuk mengurusi tugas rutin.  

 

Ada komisioner yang memimpin mediasi di kantor Komisi, di kawasan Meruya, Jakarta Barat. Ada pula yang ikut acara pelantikan Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat. Pada saat bersamaan, seorang komisioner menggelar konperensi pers di gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sepekan terakhir, kesibukan di Meruya bertambah. Bukan hanya mempersiapkan beragam acara untuk peringatan setahun UU KIP, tetapi juga menghadapi sidang-sidang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

 

Menghadapi dua gugatan menjelang setahun UU KIP tentu tak mengenakkan bagi Komisi Informasi. Gugatan itu seperti kado yang tak diharapkan. Komisi Informasi tak seharusnya diseret-seret ke meja hijau karena putusannya. Kalaupun ada pihak yang tak puas terhadap putusan Komisi, masih ada jalan gugatan. Kalau digugat ke PTUN, sesuai kewenangannya, yang dipersoalkan tentu beschikking, bukan vonnis.

 

Faktanya, putusan Komisi Informasi atas sengketa informasi rekening gendut dipersoalkan Mabes Polri ke PTUN Jakarta.  Komisi Informasi sebagai pengambil putusan malah digugat. Ini yang dinilai salah langkah oleh Ahmad Alamsyah Saragih, Ketua Komisi Informasi Pusat. “Salah jika Mabes Polri menjalani langkah itu,” ujarnya seusai sidang di PTUN Jakarta, 26 April lalu.

 

Kata ‘gugatan’ dalam pasal 47 Undang-Undang KIP menjadi pangkal persoalan. Apakah ‘gugatan’ dalam pasal ini bermakna banding atau semacam permohonan keberatan, atau benar-benar gugatan sebagaimana layaknya kasus perdata di peradilan umum, itu yang tak jelas. Memorie van toelichting UU KIP juga tak memuat penjelasan yang lengkap. Kalau gugatan terhadap Komisi Informasi dibiarkan, berarti Komisi ini bisa dihukum membayar ganti rugi atas putusannya.

 

Abdul Rahman Ma’mun, komisioner Komisi Informasi, tak menampik kelemahan UU KIP. Tetapi menurut dia, implementasi Undang-Undang ini tidak selamanya bergantung pada kesempurnaan materinya. Political will semua pemangku kepentingan sangat menentukan. Komisi Informasi, kata dia, akan tetap melaksanakan tugas dan wewenangnya. Selain membuat standar layanan informasi seperti diatur dalam Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010, juga menyelesaikan sengketa informasi melalui mediasi dan ajudikasi non-litigasi.

 

Wewenang dan tugas utama Komisi Informasi adalah menyelesaikan setiap permohonan sengketa informasi publik. Jumlah permohonan yang masuk terus bertambah. Jika pertama kali dibuka perkara yang masuk baru 15 perkara, pada penghujung tahun 2010 jumlahnya sudah mencapai 122 perkara. Jumlah serupa dicapai selama triwulan pertama tahun 2011. Total, sejak Juli 2010 hingga akhir Maret 2011, jumlah permohonan yang teregister lebih dari 224 perkara.

 

Sebenarnya, jumlah permohonan yang masuk jauh lebih banyak. Tetapi sebagian permohonan itu dinyatakan tidak layak sebagai sengketa informasi. Bisa juga permohonan dimaksud dilimpahkan ke Komisi Informasi Provinsi. Atau, dari substansinya bukan merupakan sengketa informasi publik. Dari jumlah itu sebagian besar masih dalam proses. Setahun UU KIP, Komisi Informasi baru memutus tujuh sengketa yang masuk ajudikasi. Sebagian bisa diselesaikan melalui tahap mediasi. “Karena banyak informasi yang diminta memang informasi publik yang seharusnya terbuka,” kata Abdul Rahman Ma’mun.

 

Informasi yang minim bisa membuka peluang penyimpangan. Maraknya praktik debt collector diyakini karena nasabah bank tak mendapatkan informasi cukup atas hak dan kewajiban mereka. Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa masih terus terjadi karena orang lain dihambat untuk mendapatkan akses informasi mengenai prosedur dan tahapan yang harus dilalui.

 

Respons Badan Publik

Banyak sebab sengketa informasi publik masuk ke Komisi Informasi. Tetapi intinya layanan yang diberikan Badan Publik tidak memuaskan pemohon informasi. Bisa karena informasi sama sekali tidak diberikan, atau kalaupun diberikan tidak sesuai permohonan. Abdul Rahman Ma’mun mengakui sebagian menjadi sengketa karena Badan Publik tidak merespons dan melayani permohonan sampai batas waktu terlewati. Tersedia 47 hari sampai pemohon bisa mengajukan sengketa ke Komisi.

 

Undang-Undang KIP sebenarnya sudah memberi waktu dua tahun kepada semua Badan Publik untuk mempersiapkan diri. Kementerian Komunikasi dan Informatika berkali-kali mengumpulkan Badan Publik dalam rangka sosialisasi Undang-Undang ini, termasuk setelah peraturan pelaksanaannya, PP No 61 Tahun 2010, keluar. Tugas yang diamanatkan antara lain membangun sistem pendokumentasian, menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), dan menetapkan informasi yang terbuka ke publik dan informasi yang dikecualikan alias rahasia. Badan Publik, demikian pasal 7 ayat (3) UU KIP, “harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah”.

 

Agar Badan Publik punya kesamaan visi Komisi Informasi menerbitkan regulasi Standar Layanan Publik dalam Peraturan Komisi No 1 Tahun 2010. Ini semacam panduan teknis yang perlu disiapkan Badan Publik dalam rangka melayani permintaan informasi. Komisi juga sudah mengkomunikasikan Standar Layanan Informasi ini ke banyak pemangku kepentingan. Satu dua lembaga langsung merespons. Tetapi secara umum, mayoritas Badan Publik tak memberikan respons sebagaimana diharapkan.

 

Setahun sudah UU KIP berlaku, Badan Publik yang sudah menunjuk PPID dan punya regulasi layanan informasi masih bisa dihitung dengan jari. Hasil monitoring Komisi Informasi mencatat angkanya belum sampai 25 Badan Publik.

 

Mengapa hal ini terjadi? Bisa jadi karena informasi yang diminta mayoritas berkaitan dengan apa yang selama ini dianggap rahasia oleh Badan Publik. Kalaupun bukan rahasia, minimal dianggap sensitif. Abdul Rahman Ma’mun membenarkan jenis informasi yang paling banyak diminta adalah anggaran dan keuangan Badan Publik, serta laporan harta kekayaan para pejabatnya. Selama ini anggaran dan keuangan Badan Publik seolah tak terjamah oleh pihak luar. Ketika UU KIP memasukkan anggaran sebagai informasi yang terbuka, Badan Publik menjadi gelagapan. Ini baru satu persoalan.

 

Problema putusan

Persoalan lain yang menyebabkan respons Badan Publik rendah adalah kekuatan putusan Komisi Informasi. Putusan mediasi, kata pasal 39 UU KIP, bersifat final dan mengikat. Pemohon dan Badan Publik membuat kesepakatan-kesepakatan dalam proses mediasi, dan Komisi Informasi menguatkannya dalam putusan mediasi. Bagaimana kalau Badan Publik mengingkari kesepakatan dalam akta perdamaian? Komisi Informasi tidak berada dalam posisi bisa memaksa Badan Publik. Jawabannya mungkin melalui gugatan wanprestasi ke pengadilan biasa.

 

Oleh karena itu, niat baik pemohon dan Badan Publik sangat menentukan. Salah satu permohonan informasi yang diselesaikan tanpa melalui proses panjang mediasi dan ajudikasi adalah permintaan ICW ke DPR berupa informasi perjalanan ke luar negeri. DPR menyanggupi permintaan itu. Dan masalah selesai. Komisi Informasi juga mencatat jumlah sengketa yang selesai pada tahap mediasi semakin bertambah.

 

Lain pula gambaran putusan Komisi Informasi dalam tahap ajudikasi. Dari tujuh putusan Komisi, baru tiga putusan yang dipatuhi. Selebihnya masih dilawan melalui gugatan. Sesuai mekanisme yang dibenarkan UU KIP, para pihak bisa membawa sengketa informasi itu ke Mahkamah Agung. Undang-Undang KIP mengamanatkan sengketa informasi di Komisi harus sudah selesai dalam waktu seratus hari. Lalu, di pengadilan hingga ke Mahkamah Agung? Tak ada jaminan waktu semacam itu.

 

Kalaupun putusan Komisi Informasi sudah berkekuatan hukum tetap, tak ada jaminan Badan Publik akan melaksanakan. Alih-alih putusan Komisi Informasi, putusan Mahkamah Agung –meski punya perangkat sita eksekusi-- sekalipun belum tentu bisa dieksekusi. Coba tengok putusan MA yang memerintahkan IPB, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) membuka daftar merek susu tercemar bakteri. Amar putusan Mahkamah Agung sudah jelas, tetap saja pihak yang dibebani kewajiban membuka informasi itu berdalih dengan segala cara.

 

Pemohon memang bisa menggunakan pasal 52 UU KIP. Pemohon berhak melaporkan Badan Publik ke polisi atas dasar Badan Publik tidak memberikan informasi. Namun pasal ini juga mengandung kelemahan. Pemohon harus bisa membuktikan kerugian, dan dendanya  maksimal lima juta rupiah. Dalam praktik, pasal ini juga belum pernah terlaksana. Yang terjadi adalah gugatan terhadap Komisi Informasi. Kelemahan UU KIP justru semakin membuat ruwet sengkarut penyelesaian sengketa informasi. Kondisinya makin diperparah ketidaksiapan Badan Publik melayani permintaan informasi.

 

Butuh kerja keras untuk mengadvokasi pentingnya UU KIP. Dan, setahun setelah lahir, implementasi UU ini ternyata tak segampang membalik telapak tangan.

Tags:

Berita Terkait