Kisah Dua Pohon Mangga Menuai Sengketa
Berita

Kisah Dua Pohon Mangga Menuai Sengketa

Majelis Kasasi memerintahkan tergugat menebang dua pohon mangga miliknya.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Kisah dua pohon mangga menuai sengketa.<br> Foto: Ilustrasi (inimediaku.com)
Kisah dua pohon mangga menuai sengketa.<br> Foto: Ilustrasi (inimediaku.com)

Anda tentu sering berselisih paham dengan tetangga. Entah itu karena batas tanah, tembok atau pagar rumah yang terlalu tinggi, atau karena alasan lain. Hal ini juga terjadi antara AM Thalib dan Purba Tondang yang hidup bertetangga di Jayapura, Papua. Ketua Rukun Tetangga (RT) hingga Walikota tak bisa mendamaikan, pengadilan pun akhirnya dipilih.

 

Thalib menggugat Purba ke Pengadilan Negeri Jayapura. Alasannya mungkin terdengar sepele, hanya gara-gara dua pohon mangga. Ya, dua pohon mangga berukuran besar ini yang menjadi pemicu dua pria bertetangga tersebut bersengketa di pengadilan, bahkan hingga ke Mahkamah Agung (MA).

 

Ceritanya bermula dari keresahan Thalib atas keberadaan dua pohon mangga milik Purba. Thalib menginginkan agar tetangganya itu memotong dua pohon mangga besar miliknya. Pasalnya, Thalib menilai pohon-pohon milik Purba sudah cukup mengganggu. Ia mengkhawatirkan pohon-pohon ini akan tumbang menuju rumahnya bila ada angin kencang.

 

Apalagi, dahan dan akar dua pohon itu sudah masuk ke pekarangan atau halaman rumah Thalib. Bahkan, sebagian dahan ranting dan daun sudah menyatu dengan atap seng bangunan rumah Thalib.

 

“Oleh karena itu penggugat mohon agar dua pohon mangga milik tergugat yang tumbuh pada halaman atau pekarangan penggugat dan badan Jalan Lingkungan (Jalan Krisno) untuk segera dimatikan atau dimusnahkan, sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku, dengan biaya tergugat,” demikian permintaan Thalib dalam gugatannya.

 

Di tingkat pertama, Thalib dapat tersenyum lebar. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura mengabulkan gugatannya. Purba, selaku tergugat, dihukum menebang atau memusnahkan dua pohon mangga tersebut. Purba juga harus menanggung sendiri biaya penebangan dua pohon mangga miliknya ini.

 

“Menyatakan perbuatan tergugat yang menolak untuk menebang dua pohon mangga yang ditanam di atas tanah negara atau rencana badan jalan yang mengganggu dan membahayakan rumah penggugat atau perumahan yang ada di sekitarnya adalah perbuatan melawan hukum,” jelas majelis.

 

Namun, di tingkat banding, justru Purba yang tersenyum. Pengadilan Tinggi Jayapura membatalkan putusan tingkat pertama dan menyatakan gugatan Thalib tidak dapat diterima. Putusan ini dibacakan pada 11 September 2001 lalu. 

 

Thalib akhirnya membawa perkara ini ke MA dengan mengajukan permohonan kasasi. Lalu, apa kata hakim agung mengenai perkara ini? Majelis Hakim Kasasi menyatakan Putusan Pengadilan Negeri Jayapura yang benar. Artinya, Purba harus tetap menebang dua pohon mangga miliknya.

 

“Menghukum tergugat untuk menebang atau memusnahkan dua pohon mangga yang terletak di badan Jalan Krisno, Kelurahan Angkasapura dengan biaya tergugat,” jelas majelis hakim kasasi dalam amar putusannya.

 

Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengamini argumentasi pemohon kasasi (penggugat) bahwa dua pohon yang ditanam oleh termonon kasasi (tergugat) dikhawatirkan akan rubuh bila ada angin kencang. Mereka menilai keadaan ini dapat membahayakan keselamatan orang lain atau bangunan milik penggugat.

 

Perkara yang diputus pada 8 Desember 2006 ini mungkin terkesan sepele. Namun, majelis kasasi yang memutuskan bukan orang sembarangan. Mereka adalah Harifin A Tumpa (ketua majelis), Rehngena Purba dan I Made Tara masing-masing sebagai anggota. Sebagaimana diketahui, Harifin saat ini menjabat sebagai Ketua MA.

 

Cerobong Asap

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil menyambut baik putusan-putusan semacam ini. Ia menilai putusan MA ini menunjukkan bahwa para hakim agung tak hanya berpikir legalistik. Salah satu contohnya adalah pengertian kerugian dalam kasus perdata yang bersifat potensial pun sudah diakui sebagai bentuk kerugian.

 

“Ini kan kasus yang baru sekedar berpotensi merugikan orang lain bila suatu saat pohon itu akan tumbang. Bukan kerugian riill. Tetapi, majelis hakim agung telah mengakui ‘potensi’ kerugian itu sebagai bentuk kerugian juga,” ujarnya.

 

Arsil pun teringat putusan Pengadilan Belanda mengenai kasus cerobong asap yang dipelajari di Fakultas-Fakultas Hukum di Indonesia. Yakni, ketika seseorang diperintahkan pengadilan untuk memindahkan cerobong asap miliknya karena dinilai menghalangi pandangan tetangganya. Cerobong asap itu ternyata dibuat terlalu tinggi.

 

“Kasusnya terlihat seperti kasus sepele, bukan kasus yang nilainya miliaran, tapi dari kasus-kasus tersebut bisa tercipta putusan-putusan yang kemudian menjadi yurisprudensi yang kemudian dibahas di fakultas-fakultas hukum,” pungkasnya.

Tags: