Sembilan ‘Dosa’ Jurnalis Meliput Kasus Terorisme
Resensi

Sembilan ‘Dosa’ Jurnalis Meliput Kasus Terorisme

Versi polisi dan fakta di lapangan acapkali berbeda. Verifikasi informasi menjadi penting!

Oleh:
Rfq
Bacaan 2 Menit
Sembilan dosa jurnalis meliput kasus terorisme. Foto: Sgp
Sembilan dosa jurnalis meliput kasus terorisme. Foto: Sgp

Sejak kasus Bom Bali I dan II, media di Indonesia menaruh perhatian besar pada isu terorisme. Apalagi selama sepuluh tahun terakhir, aksi pengeboman terus terjadi dalam skala yang berbeda dan wilayah yang beragam. Terorisme menjadi isu yang menarik untuk diliput. Media televisi malah menghadirkan banyak tayangan dialog membahas terorisme.

 

Tentu, menjadi kewajiban jurnalis untuk memberikan informasi akurat dan berimbang kepada publik. Keberimbangan dan akurasi acapkali ditentukan jumlah dan kualitas narasumber, serta perjuangan sang jurnalis memverifikasi informasi dan data yang ia peroleh. Idealnya begitu!

 

Dalam praktik, ada kecenderungan pergeseran. Informasi yang dihidangkan relatif kering dan searah. Keterbatasan akses, begitu alasannya. Jurnalis umumnya hanya mendapatkan informasi dari kepolisian, itu pun pejabat humas atau penerangan. Walhasil, jurnalis mendapatkan informasi satu arah.

 

Akibat lanjutannya, liputan media acapkali tergelincir menjadi corong pihak kepolisian semata. Padahal, jurnalis mestinya paham media bisa dijadikan alat propaganda oleh kelompok tertentu. Wartawan terkungkung pada penulisan kasus terorisme yang standar, seperti jumlah korban dan dampak yang ditimbulkan. Dari situ, jurnalis minta pendapat pengamat terorisme meskipun acapkali ‘pengamat’ dimaksud kurang berkompeten. Narasumber lain yang biasa dimintai pendapat adalah ‘mantan’ pelaku aksi terorisme. Pokoknya, wartawan langsung menulis pelaku terorisme siapapun orang yang dituduh polisi sebagai teroris.

 

Peliputan model seperti itu sebenarnya mengkhawatirkan. Jika terus dibiarkan, jurnalis Indonesia akan terus terjerumus ke dalam kesalahan yang bertumpuk. Dalam konteks inilah buku terbitan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini menjadi relevan. “Panduan Jurnalis Meliput Terorisme” adalah buku yang mengupas dosa jurnalis sewaktu meliput kasus terorisme, sekaligus memuat semacam tips agar jurnalis tak terjerumus lebih jauh. Buku ini berangkat dari suatu pandangan: “ada yang kurang pas dalam liputan media kita” (hal. 9).

 

Dosa pertama, jurnalis acapkali mengandalkan satu narasumber resmi. Kedua, lalai dalam melakukan verifikasi. Ketiga, malas menggali informasi di lapangan. Keempat, lalai memahami konteks. Kelima, terlalu mendramatisasi peristiwa. Keenam, tidak berempati pada narasumber. Ketujuh, menonjolkan kekerasan. Kedelapan, tidak memperhatikan keamanan dan keselamatan diri. Dan kesembilan, menyiarkan berita bohong.

 

PANDUAN JURNALIS MELIPUT TERORISME

 

Tim AJI JAKARTA

Penerbit: AJI JAKARTA

Tahun Terbit: 2011

Halaman: xvi + 222

  

Pada bagian awal, buku ini menjelaskan liputan terorisme yang acapkali dipersoalkan. Pasalnya, liputan terorisme di berbagai media dinilai sepihak. Sehingga informasi yang disajikan ke masyarakat tidak berimbang. Acapkali, jurnalis juga menggunakan sumber anonim. Buku ini juga menceritakan berbagai liputan yang dilakukan oleh berbagai jurnalis dari beberapa media. Setidaknya, buku panduan ini juga mengkritisi metode trend peliputan terorisme.

 

Inti dari pembahasan buku ini sebenarnya agar pers memiliki kewajiban mengabarkan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pada akhirnya semua pihak menginginkan agar jurnalis dan media massa menjadi alat kontrol yang efektif untuk menjaga akuntabilitas aparat keamanan. Poin penting dari buku ini adalah  menyegarkan ingatan jurnalis soal prinsip jurnalis damai, bagaimana menyajikan prinsip praduga tidak bersalah ke dalam berita, dan menghindari gambaran sadis (hal. 134).

 

Setelah pembaca memahami ‘dosa’ peliputan jurnalis dalam peliputan terorisme, buku ini juga memberikan enam tips dalam penggalian informasi peliputan terorisme. Keenam tips itu adalah mewawancarai lebih dari sekali, menempel para narasumber, membentuk dua tim peliput, mencatat detail peristiwa secara apa adanya, berempati pada posisi nara sumber, dan tetap mementingkan keselamatan dini.

 

Buku ini semakin lengkap karena tim AJI memaparkan bagaimana pola gerakan Jamaah Islamiyah pimpinan Abdullah Sungkar. Selain itu, pola rekruitmen, area operasi, struktur organisasi, dan pendanaan pun dibeberkan dalam buku ini. Di bagian akhir, buku ini juga dilengkapi dengan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. 

 

Lebih bermanfaat lagi kalau buku ini menyediakan informasi lengkap tentang jerat hukum apa saja yang dipakai mendakwa pelaku terorisme. Kalaupun ada sajian itu (hal. 189-198), sajiannya masih terasa kurang lengkap. Satu hal lagi, panduan meliput ini cenderung sebagai panduan di tingkat penyidikan. Bagaimana dengan peliputan di persidangan?

 

Lepas dari kemungkinan kelemahan dan kesalahan, buku ini tetap menarik untuk dibaca, terutama bagi jurnalis yang melakukan peliputan terorisme di berbagai tempat. “Sebuah karya jurnalistik seyogiayanya menjernihkan dan membuat terang sebuah masalah. Bukan malah memperkeruh dan membuat bingung”.

 

Selamat membaca..!!

Tags: