Tiada Titik Akhir
Tajuk

Tiada Titik Akhir

Struktur kekuasaan politik sesudah reformasi menunjukkan struktur yang sungguh aneh, pemain lama dan muka baru dengan budaya politik lama nampak semakin menguasai panggung elit politik kita.

Oleh:
Ats
Bacaan 2 Menit
Tiada Titik Akhir
Hukumonline

 

Ketika kasus Cicak vs Buaya berada di ujung tanduk, yaitu manakala Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto nyaris berhasil dikriminalisasi oleh begundal-begundal mafia peradilan serta lingkaran korupsinya di kalangan penegak hukum, kita berpikir ini adalah titik akhir perjuangan gerakan anti korupsi. Karena tekanan publik, perjuangan tidak kenal menyerah Chandra-Bibit, KPK dan para pembelanya, dan ketegasan serta keberpihakan Mahkamah Konstitusi pada gerakan anti korupsi, kasus ini terpaksa diselesaikan, walaupun serba tanggung, ditujukan juga untuk menyelamatkan muka penegak hukum yang tercoreng-moreng dengan tinta hitam. Suatu babak hitam dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, dimana institusi penegak hukum ditempatkan di pihak yang berseberangan dengan gerakan anti korupsi.

 

Ketika kebijakan penyelamatan sistem perbankan Indonesia oleh KSSK di tahun 2009, di tengah krisis ekonomi dunia yang menyeret Amerika, Eropa, Asia dan sebagian besar negara yang menerapkan kebijakan perbankan yang liberal dan berisiko tinggi ke jurang kebangkrutan; diselesaikan dan dihukum secara politis oleh parlemen, dan Boediono juga Sri Mulyani Indrawati (SMI) nyaris dikriminalisasi, kita juga berpikir ini adalah akhir suatu perjuangan penegakan governance di bidang pengelolaan keuangan negara dan perekonomian pada umumnya. Karena tekanan publik dan dunia, Boediono terselamatkan, dan SMI diusir secara kasar dan pengecut oleh para elit politik dari puncak jabatan sentral bidang ekonomi dan keuangan negara. Beruntung masih ada orang-orang berakal sehat di salah satu pusat keuangan dunia, Bank Dunia, yang mempercayai SMI untuk menjadi orang nomor dua di Bank Dunia, dan memimpin perumusan governance dan praktik terbaik penyelenggaraan keuangan publik tingkat dunia, dan memberikan bantuan keuangan kepada ekonomi-ekonomi yang terpuruk, program-program kesehatan, pendidikan, pangan, energi, dan penghapusan kemiskinan di berbagai pelosok dunia.

 

Keadaan-keadaan serba nyaris tersebut memang sungguh tragis, karena itu terjadi di suatu negara yang sedang bertransformasi menjadi negara demokratis dan membangun governance di segala bidang. Proses transformasi sejak kejatuhan Soeharto tersebut dipuji oleh dunia. Keberhasilan ekonomi kita meredam dampak dari gejolak krisis dunia juga dipuji banyak orang. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang menjadikan kita mendekati kinerja negara-negara BRICS dan menjadikan kita ditarik masuk sebagai anggota G-20 juga menarik banyak komentar positif dunia. Kalau saja di bidang penegakan hukum dan praktik politik kita menunjukkan gerakan yang setara, maka bukan tidak mungkin kita sekarang sudah memetik buah reformasi menjadi salah satu negara teladan dunia, dan bersiap untuk mensejahterakan rakyatnya.

 

Kenyataannya,  sistem politik, parta-partai politik dan elite politik kita masih saja menjadi batu sandungan besar ke arah itu. Struktur kekuasaan politik sesudah reformasi menunjukkan struktur yang sungguh aneh, terlepas bahwa sistem pemilihan yang dilakukan didasarkan pada pemilihan langsung yang demokratis. Struktur politik kini menunjukkan bahwa pemain lama dan muka baru dengan budaya politik lama nampak semakin menguasai panggung elit politik kita. Gerakan reformasi justru ditunjang oleh kekuatan-kekuatan reformis di luar lingkar partai dan elit politik. Gerakan reformasi dan anti korupsi jelas hanya dimotori oleh masyarakat madani, sebagian birokrat reformis, sebagian media, dan dorongan dari sejumlah organisasi dunia yang menginginkan Indonesia benar-benar berhasil menuntaskan reformasinya. Gerakan reformasi dan anti korupsi justru dicoba digembosi oleh kekuatan politik yang berkuasa.

 

Kalau disimak lebih terfokus, maka gerakan penggembosan tersebut bisa dibuktikan dengan sangat jelas berdasarkan fakta-fakta sebagai berikut: (a) dari waktu ke waktu terbukti adanya gerakan untuk mengubah UU KPK dan UU Anti Korupsi serta undang-undang lain yang terkait, yang bertujuan mengurangi kewenangan dan kekuasaan KPK dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi; (b) dari waktu ke waktu terbukti juga adanya gerakan mengubah UU Mahkamah Konstitusi dengan tujuan yang sama, mempreteli kewenangan Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak bisa menjadi penjaga konstitusi yang efektif;

 

(c) jumlah terbesar kasus korupsi yang sedang diselidiki, disidik dan dituntut oleh KPK adalah kasus-kasus korupsi dari anggota DPR atau DPRD yang berasal dari hampir semua, kalau tidak semua, partai politik yang terwakili dalam DPR dan DPRD, serta menteri, pejabat tinggi, serta pimpinan daerah yang berasal dari partai-partai politik, baik yang berkuasa maupun yang beroposisi, hampir tanpa kecuali; (d) merebaknya kasus-kasus dugaan korupsi baru yang melibatkan partai berkuasa yang seharusnya dengan mudah  diselesaikan oleh elit politik yang berkuasa; (e) menguatnya partai-partai yang anti reformasi dan anti gerakan anti korupsi, bahkan mulai mengancam akan menggeser pejabat publik yang mempunyai keberanian untuk mengedepankan kepentingan negara; (f) proses pemilihan komisioner KPK yang sudah habis masa jabatannya dicoba dikuasai dengan menunjuk panitia seleksi yang tidak seluruhnya terbukti merupakan pemangku kepentingan gerakan anti korupsi, sehingga memungkinkan terjadinya proses yang keras untuk memilih calon-calon komisioner terbaik untuk dipilih oleh parlemen, belum lagi, kita belum tahu, rencana mereka di parlemen dan di ruang-ruang publik lainnya di dalam menjegal proses pemilihan yang menginginkan KPK yang kredibel. Para calon terbaik bisa difitnah, publik diberi informasi yang salah, dan dibunuh karakternya tanpa dasar, dan KPK dikampanyekan sebagai lembaga yang ad hoc, tidak perlu ada, dan harus dibubarkan.

 

Partai politik dan elit politik sebenarnya sangat bisa memainkan peran besar dalam menyelesaikan agenda-agenda tadi. Partai dan elit politik pasti tahu bahwa Mahkamah Konstitusi dan KPK merupakan dua lembaga negara yang nyaris bersih dan bisa membuat banyak perubahan dalam proses demokratisasi, reformasi dan gerakan anti korupsi yang efektif. Masih banyak kader partai politik yang terbilang baik, dan bisa melakukan konsolidasi antar partai atau membentuk kaukus pro reformasi untuk mencegah penggembosan yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka, bahkan dari satu partai, terhadap Mahkamah Konstitusi dan KPK. Melalui gerakan yang sama mereka juga bisa mengawal pemilihan komisioner KPK dengan memilih hanya empat orang terbaik untuk menjadi komisioner KPK yang baru, mendampingi Busyro Muqoddas yang dinyatakan berhak menjabat selama empat tahun oleh Mahkamah Konstitusi baru-baru ini.

Tags: