Pembatasan Perkara ke MA Harus Diperketat
RUU MA:

Pembatasan Perkara ke MA Harus Diperketat

Selain mendefinisikan ulang pembatasan perkara yang bisa dikasasi, syarat atau alasan mengajukan PK juga harus ditinjau ulang.

Oleh:
Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
MA akan perketat dan mendefinisikan ulang pembatasan perkara.<br> Foto: SGP
MA akan perketat dan mendefinisikan ulang pembatasan perkara.<br> Foto: SGP

Dua kali sudah UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) direvisi. Namun, perubahan itu belum juga menjawab permasalahan yang ada di lembaga pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia itu. Permasalahan itu adalah banyaknya perkara yang masuk –baik melalui kasasi maupun peninjauan kembali (PK)- di MA.

 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri menuturkan bahwa perubahan ketiga yang sedang direncanakan oleh DPR harus bisa menjawab persoalan itu. Bila mengacu kepada data 2008 saja, setidaknya ada sekitar 11 ribuan perkara yang masuk ke MA. Jumlah ini terus bertambah setiap tahun. Pada 2010, ada 13 ribuan perkara yang masuk ke MA.

 

“Fakta banyaknya perkara yang masuk tak bisa disanggah lagi,” ujar Ronald dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislasi DPR, Kamis (14/7).

 

Ronald mengakui bahwa upaya mengurangi masuknya jumlah perkara di MA sudah pernah dilakukan melalui revisi pertama UU MA, yakni UU No 5 Tahun 2004. Pasal 45A ayat (2) menyebutkan setidaknya ada tiga perkara yang tidak bisa diajukan kasasi. Bila tiga jenis perkara ini tetap didaftarkan untuk kasasi maka Pengadilan Negeri (PN) harus menyatakan tidak dapat diterima, dan tak perlu mengirimkan berkasnya ke MA.

 

Tiga perkara yang dimaksud adalah (a) putusan tentang praperadilan; (b) perkara pidana yang ancaman maksimalnya satu tahun penjara; (c) perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah. 

 

Sayangnya, upaya ini tidak berhasil. Buktinya, tunggakan perkara di MA tetap saja tak berkurang dari tahun ke tahun. “Pasal 45A UU No 5/2004 sudah ada pembatasan perkara, tapi tak berpengaruh signifikan. Mungkin kita memerlukan persyaratan yang lebih ketat,” ujar Ronald.

 

Selain pembatasan kasasi, lanjutnya, pembatasan juga harus dilakukan untuk PK. Ia mengatakan berdasarkan hasil sebuah riset ditemukan fakta bahwa mayoritas alasan pengajuan PK adalah adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim. Sedangkan alasan PK yang lain, seperti adanya novum (bukti atau keadaan baru), persentase penggunaannya sangat sedikit.

 

“Kami mengusulkan syarat (alasan) pengajuan peninjauan kembali ini agar ditinjau kembali,” tuturnya.

 

Sementara, menurut Anggota Komisi Hukum Nasional Fajrul Falaakh, bila DPR dan Pemerintah ingin membatasi perkara yang masuk ke MA maka bisa memperketat persyaratan yang ada dalam Pasal 45A UU No.5/2004. “Tinggal diperketat saja perkara apa yang tidak bisa dikasasi,” ujarnya.

 

Fajrul memberi masukan klasifikasi perkara yang tak bisa dikasasi adalah perkara yang sederhana. Misalnya, perkara waris atau perceraian. “Waris itu kan formulanya sudah jelas, jadi tak perlu sampai ke kasasi. Sedangkan, perceraian itu perkara yang membutuhkan waktu cepat untuk diselesaikan,” jelasnya.

 

Rasa Keadilan  

Anggota Baleg dari Partai Hanura Syarifuddin Sudding setuju bila alasan pengajuan PK ditinjau ulang. “Saya sangat setuju. Kalau perlu syarat adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim tak perlu lagi digunakan sebagai syarat pengajuan PK,” ujarnya. Namun, lanjutnya, perubahan syarat ini lebih tepat bila dilakukan pada revisi KUHAP.

 

Sementara, Anggota Baleg dari Partai Golkar Siswono Yudohusodo mempertanyakan apakah secara hukum pembatasan perkara yang bisa  dikasasi atau PK ini tidak menciderai rasa keadilan para pihak yang sedang bersengketa. Menurutnya, seringnya perkara mampir hingga ke MA karena kualitas hakim yang masih kurang dari harapan masyarakat.

 

“Apa perlu membatasi perkara ke MA atau cukup memperbaiki kapasitas hakim sehingga kelak perkara di MA akan menurun dengan sendirinya karena masyarakat sudah puas terhadap putusan hakim (di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi,-red),” tegasnya.

 

Fajrul menuturkan bahwa pembatasan tidak akan menciderai rasa keadilan masyarakat. Pasalnya, pada prinsipnya, putusan pengadilan bisa tetap diajukan upaya hukum. Hanya untuk perkara-perkara tertentu pengajuan upaya hukumnya bisa dibatasi. Misalnya, hanya sampai Pengadilan Tinggi. “Namanya bukan pembatasan perkara, tetapi lebih baik ‘memperpendek proses penyelesaian perkara’,” pungkasnya.

Tags: