Belajar Konsep Plea Bargain dari USA
Berita

Belajar Konsep Plea Bargain dari USA

Instansi penegak hukum akan menandatangani surat keputusan bersama untuk memberi perlindungan hukum kepada justice collaborator.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris<br> Semendawai. Foto: SGP
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris<br> Semendawai. Foto: SGP

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Kementerian Hukum dan HAM akan menyelenggarakan seminar internasional tentang perlindungan whistleblower dan justice collaborator. Acara yang didukung oleh United States Departement of Justice ini akan diselenggarakan pada 19-20 Juli 2011 mendatang di Jakarta.

 

Susan Keogh, Director International Anti Narcotics and Law Enforcement Amerika Serikat (AS), mengatakan negaranya akan mengirim empat ahli perlindungan saksi untuk berbagi pengalaman dengan Indonesia. Sejak lama, Amerika Serikat kerap bermasalah dengan kejahatan-kejahatan yang terorganisir. Salah satu solusinya adalah menerapkan konsep plea bargain sejak 1971.   

 

“Konsep ini adalah untuk mereka yang terlibat dalam kejahatan, tetapi karena mau bekerjasama dengan penegak hukum, maka mereka bisa dikurangi tuntutan hukumannya. Tujuannya untuk mengejar pelaku kejahatan yang lebih tinggi. Plea bargain ini adalah salah satu topik yang dibahas dalam seminar internasional tersebut,” ujar Susan di Jakarta, Jumat (15/7).

 

Menurut Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, Indonesia sebenarnya sudah mengenal konsep plea bargain bila mengacu Pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006 tentang LPSK. “Dasar hukumnya, kita sudah punya,” tegasnya.

 

Simak isi Pasal 10 ayat (2) secara lengkap, Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

 

Namun, sayangnya, dalam praktik pasal ini tidak berjalan. Ketentuan ini jarang sekali digunakan oleh jaksa dan hakim yang memutus suatu perkara. Sehingga ‘janji’ untuk para justice collaborator sebagaimana diatur dalam pasal itu hanya sebuah janji kosong. “Ini disebabkan oleh tak adanya aturan pelaksana pasal tersebut,” ujar Semendawai.

 

Lebih lanjut, Semendawai berharap para penegak hukum di Indonesia dan juga Mahkamah Agung (MA) memiliki aturan internal sendiri agar memerintahkan jajarannya untuk lebih melindungi justice collaborator menggunakan konsep plea bargain ini. “Selain mereka membuat aturan internal, UU LPSK juga harus diperbaiki lagi,” tuturnya.

 

Sekedar mengingatkan, MA berencana menerbitkan Surat Edaran MA agar para hakim memperhatikan peranan dari para pelapor tindak pidana yang sekaligus sebagai pelaku dalam menjatuhkan hukuman.

 

“Nanti kita akan mengeluarkan SEMA agar para hakim memperhatikan peranan para pelapor pelaku (justice collaborator), seperti kasus Agus Tjondro,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

 

Langkah MA ini tentu diharapkan akan bisa diikuti oleh para penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Karenanya, Semendawai menuturkan seminar nasional itu juga akan diikuti oleh para Kapolda, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia. Tujuannya, agar mereka benar-benar memperhatikan peran justice collaborator.

 

“Pimpinan Kepolisian, Kejaksaan, KPK, LPSK, Menkumhan dan Ketua MA akan menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) agar masing-masing lembaga mau melindungi para justice collaborator,” pungkasnya.

Tags: