Nasib Ratusan Calon Hakim Bisa Terancam
Utama

Nasib Ratusan Calon Hakim Bisa Terancam

Buntut kisruh MA dan KY mengenai proses seleksi hakim.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
KY berharap MA patuhi aturan seleksi hakim dalam UU No 49 tahun<br> 2009. Foto: SGP
KY berharap MA patuhi aturan seleksi hakim dalam UU No 49 tahun<br> 2009. Foto: SGP

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial perlu menyatukan persepsi dalam proses seleksi hakim pengadilan negeri. Jika tidak, nasib calon hakim hasil seleksi, khususnya hasil rekrutmen 2010, terancam dipersoalkan orang di kemudian hari. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum menegaskan proses seleksi hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

 

Komisioner Komisi Yudisial (KY) Bidang Rekrutmen Hakim, Taufiqurrohman Syahuri, berharap Mahkamah Agung dan KY bisa segera membahas masalah ini. Ia mengingatkan jika aturan rekrutmen bersama terus dilanggar, bukan mustahil kelak ada yang mempersoalkan hasil seleksi. Salah satunya hasil seleksi 2010 lalu. Kalau 210 orang calon hakim hasil seleksi 2010 dipaksakan untuk diangkat sendiri oleh MA, tegas Taufiq, “ini berbahaya”.

 

Kalau para calon hakim itu dipaksakan untuk diangkat menjadi hakim, nasib mereka bisa seperti Jaksa Agung Hendarman Supandji. Gara-gara masalah pengangkatan, jabatan Hendarman dipersoalkan. Demikian pula nasib para calon hakim yang sebagian kini sudah ditempatkan di sejumlah pengadilan. “Bisa dipersoalkan legalitasnya,” tegas Taufiq.

 

Pada 2010 lalu, Mahkamah Agung telah melakukan proses rekrutmen calon hakim. KY merasa tidak dilibatkan sehingga mempersoalkan langkah MA tersebut. Keterlibatan KY dalam proses seleksi dirumuskan dalam Undang-Undang Peradilan Umum.

 

Dengan menyitir rumusan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Peradilan Umum, Taufiq mengatakan seleksi hakim harus dilakukan bersama kedua lembaga. Frasa “dilakukan bersama” dalam rumusan pasal itu, kata dia,  tidak usah jauh-jauh ditafsirkan. “Kalau salah satu tidak setuju, ya tidak sah,” ujar pria kelahiran 2 Mei 1960 itu. “Kesalahan terhadap penafsiran, bisa dipersoalkan orang di kemudian hari,” sambungnya.

 

Pernyataan Taufiqurrohman Syahuri disampaikan saat berbicara dalam diskusi publik ‘Model Rekrutmen Hakim dan Peran Komisi Yudisial’, yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional di Jakarta, Selasa (19/7). Taufiq merespon penjelasan Kepala Biro Kepegawaian Mahkamah Agung, Aco Nur, pada acara yang sama.

 

Aco Nur membantah pernyataan-pernyataan pejabat Komisi Yudisial selama ini bahwa MA tak melibatkan KY dalam proses seleksi hakim. Pria asal Bima, Nusa Tenggara Barat, ini menegaskan MA sudah berkali-kali mengundang pejabat Komisi Yudisial untuk hadir rapat membahas proses seleksi hakim. Sembilan surat sudah pernah dilayangkan. Ketua MA juga selalu memerintahkan agar KY diundang. Masalahnya, kata Aco, KY tak kunjung menghadiri undangan. “KY tidak hadir padahal sudah diundang,” ujarnya.

 

Ketidakhadiran KY atas setiap undangan MA membuat Aco Nur bertanya-tanya apakah KY sengaja absen atau tidak mau terlibat proses seleksi. Kalau KY mempersoalkan nasib para calon hakim dan tak bersedia ikut seleksi hanya karena beda penafsiran, Aco Nur khawatir formasi dan anggaran seleksi hakim akan hangus. Ini konsekuensi yang mungkin timbul jika kekisruhan kedua lembaga terus berlanjut.

 

Taufiqurrohman Syahuri punya penjelasan. Undangan MA diajukan pada kepengurusan Komisi Yudisial sebelumnya. Ia mengakui dulu MA aktif mengajak, KY pasif. Sekarang kondisinya terbalik, KY proaktif, MA pasif. Pasal 14A ayat (3) Undang-Undang Peradilan menegaskan ketentuan lebih lanjut proses seleksi diatur bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

 

Diskusi yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional bukan upaya pertama mempertemukan kedua belah pihak. Komisi Yudisial sudah pernah mengundang sejumlah hakim, akademisi, dan praktisi untuk membahas masalah ini. Pertemuan informal antara pejabat kedua lembaga sudah dilakukan. Bahkan, kata Taufiq, pimpinan MA dan sejumlah komisioner KY sudah bertemu Senin kemarin (18/7).

 

Pada kesempatan serupa, Aco Nur menjelaskan MA hanya ‘menyuguhkan jalan’ dalam proses seleksi. Tahapan-tahapan seleksi justru dikerjakan oleh pihak ketiga, yakni perguruan tinggi. Langkah itu dilakukan antara lain untuk menepis tudingan ‘permainan’ dalam rekrutmen calon hakim. Kalau ada gagasan untuk memperbaiki pola rekrutmen yang ada, Mahkamah Agung tak keberatan. Komisi Hukum Nasional juga bisa mengajukan gagasan. “Mari kita perbaiki sama-sama,” pungkasnya.

 

Tags: