Calon Hakim Agung Bicara Hannah Arendt dan Overmacht
Berita

Calon Hakim Agung Bicara Hannah Arendt dan Overmacht

Ketua KY sempat meminta seorang calon mengubah niatnya mendapatkan tambahan penghasilan menjadi hakim agung.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Ketua KY minta seorang calon ubah niatnya dapatkan tambahan<br> penghasilan menjadi hakim agung. Foto: SGP
Ketua KY minta seorang calon ubah niatnya dapatkan tambahan<br> penghasilan menjadi hakim agung. Foto: SGP

Prof. Syafii Ma’arif tertarik pada gagasan kepemimpinan ideologis yang diusulkan Mayor Jenderal Burhan Dahlan. Buya, panggilan mantan Ketua PP Muhammadiyah itu, menanyakan apa yang mendasari pentingnya kepemimpinan ideologis bagi seorang militer seperti Burhan. Bukankah kepemimpinan di militer itu bersifat komando?

 

Burhan Dahlan menjawab sigap pertanyaan Buya. Hannah Arendt! Filsuf penulis buku Totalitarianism itu, kata Burhan, menggagas pentingnya merajut kebersamaan antara pimpinan dan anggota. Dalam suatu institusi yang dihuni ratusan bahkan ribuan hakim, dan menangani puluhan ribu perkara setiap tahun, Mahkamah Agung membutuhkan kepemimpinan lembaga yang punya rasa kebersamaan dengan anggota. Kepemimpinan militer memang berkarakter komando. Tetapi pengadilan militer, tempat Burhan selama ini mengabdikan diri, sudah lepas dari TNI. Ia adalah bagian dari Mahkamah Agung.

 

Tanya jawab Buya dan Burhan Dahlan itu bukan terjadi dalam bedah buku Hannah Arendt. Burhan pun tak menjelaskan lebih detil bagaimana pandangan-pandangan filsuf Jerman itu mempengaruhi jalan pikirannya. Burhan sedang mengikuti seleksi wawancara calon hakim agung di gedung Komisi Yudisial, Rabu (27/7) pagi. Burhan Dahlan, Ketua Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama), salah seorang kandidat hakim agung yang berasal dari lingkungan militer. Yang lain adalah Laksamana A.R. Tampubolon, dan Kolonel CHK (Purn) Santoso.

 

Buya Syafii bukan hanya tertarik pada gagasan kepemimpinan ideologis. “Anda jujur sekali,” kata Buya mengomentari pernyataan Burhan dalam makalah, bahwa salah satu alasannya mencalonkan diri adalah faktor finansial. Sang calon ingin memperoleh pendapatan lebih besar dari apa yang dia peroleh sekarang. “Kita tidak boleh munafik,” tandas Burhan.

 

Ketua Komisi Yudisial, Eman Suparman, meminta tolong kepada Burhan untuk mengubah niatnya. Kalau niatnya untuk memperoleh pendapatan lebih, yang diperoleh hanya sekedar pendapatan. “Jangan pernah sekali-kali berniat karena uang. Kalau niat cari harta, yang dapat hanya harta,” pinta Erman.

 

Buya Syafii dan mantan hakim agung, M Yahya Harahap, adalah dua pakar yang ikut menjadi penanya dalam seleksi calon hakim agung di Komisi Yudisial (KY). Berdasarkan pengamatan hukumonline, keduanya mengajukan pertanyaan lebih banyak dibanding masing-masing komisioner (KY). Biasanya Buya mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkaitan nasionalisme dan religiusitas calon, Yahya Harahap banyak mengajukan pertanyaan teknis.

 

Beberapa calon malah terlihat tak mampu menjawab secara pasti ketika Yahya Harahap menanyakan rumusan dalam pasal Undang-Undang. Prof Mashudi, Guru Besar Hukum Perdata, sempat kesulitan menjawab bunyi Pasal 1917 KUH Perdata (yang mengatur nebis in idem dalam perkara perdata). Hal yang sama terjadi ketika Yahya Harahap meminta calon menjelaskan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Semula calon tak bisa menyebutkan rumusannya, hingga Yahya Harahap mengingatkan pasal tersebut mengatur tentang force majeur. Keadaan memaksa berbeda dari keadaan sulit, atau apa yang lazim disebut hardship. Kata Prof Mashudi, overmacht atau force majeur bisa didasarkan pada alasan objektif atau alasan subjektif.

 

Dewi Kania Sugiharti, calon lain, banyak ditanya soal Pengadilan Pajak. Dosen Universitas Padjadjaran Bandung ini memang seorang akademisi yang menggeluti bidang hukum pajak. Menjawab pertanyaan komisioner Abbas Said, Dewi menegaskan Pengadilan Pajak seharusnya langsung berada di bawah Mahkamah Agung karena sifatnya sebagai pengadilan. Ia mengkritik keterlibatan Kementerian Keuangan dalam pembinaan finansial dan administratif Pengadilan Pajak. “Kalau mau disebut ‘pengadilan’, maka dia seharusnya berada di bawah Mahkamah Agung,” tandas Dewi.

 

Jika ditarik sepenuhnya ke Mahkamah Agung, Pengadilan Pajak bisa menjadi kamar sendiri di lingkungan Tata Usaha Negara.

 

Selain gagasan calon demi perbaikan MA, para panelis beberapa kali mengklarifikasi jejak rekam calon. Burhan Dahlan ditanya tentang penjualan aset Kostrad di Bogor yang menyeret-nyeret namanya. Burhan mengatakan tidak tahu menahu, bahkan sepengetahuannya tidak ada penjualan aset Kostrad seperti masukan masyarakat ke Komisi Yudisial. Dewi Kania ditanya tentang kiprahnya selama ini menjadi ahli dari jaksa dalam perkara korupsi. Sedangkan Prof Mashudi ditanya tentang penghasilan dan pengeluarannya, serta penghasilan isterinya.

Tags: