Siapa Bilang Kasus Pidana Tak Bisa Dimediasi
Resensi

Siapa Bilang Kasus Pidana Tak Bisa Dimediasi

Sebagai referensi, buku ini memuat regulasi termutakhir penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Ditulis seorang hakim dan peneliti cum mediator.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Buku yang memuat regulasi penanganan anak yang berhadapan<br> dengan hukum. Foto: SGP
Buku yang memuat regulasi penanganan anak yang berhadapan<br> dengan hukum. Foto: SGP

Apa jadinya jika seorang hakim menulis buku bersama seorang peneliti yang juga mediator? Hampir pasti, buku yang mereka tulis disertai contoh-contoh kasus riil berpadu dengan analisis teori.

 

Sedikit banyak, ini juga yang bisa kita dapatkan ketika membaca buku Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Indonesia karya DS Dewi dan Fatahillah A Syukur. Kedua penulis buku terbitan Mei 2011 ini adalah seorang hakim anak, dan seorang peneliti cum mediator di Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT). Seperti tertuang dalam bagian Prakata, buku ini adalah perpaduan ‘pengetahuan dan pengalaman’ kedua penulis mengenai mediasi.

 

Pengetahuan dan pengalaman itulah yang coba hendak dipadupadankan di Pengadilan Anak. Secara akademis, ada kerisauan melihat terus bertambahnya anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Perkara pidana yang menjerat anak tak lagi melulu kasus sederhana. Yang paling memprihatinkan, semakin banyak anak terjerat kasus narkoba. Malah sudah ada anak tersangkut kasus terorisme. Jika menengok penalti yang termuat dalam Undang-Undang, anak-anak bisa terancam hukuman berat. Layakkah anak-anak dihukum berat?

 

Mediasi merupakan salah satu bentuk pilihan penyelesaian sengketa, yang lazim dikenal dalam hukum perdata. Mediasi penal menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan masalah ini. Mediasi penal tak lagi melulu untuk perkara pidana ringan, tetapi juga tindak pidana berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan (hal. 79-80). Mediasi penal adalah cara menghindarkan ABH dari proses peradilan pidana.

 

Mediasi penal sebenarnya belum memiliki payung hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Yang ada hanya beberapa regulasi tersirat, yang membuka kemungkinan mediasi. Buka spesifik mediasi penal. Kalaupun ada Pasal 82 KUHP, pasal ini belum menggambarkan secara tegas  kemungkinan penyelesaian damai antara pelaku pidana dengan korban (hal. 81). Tetapi dalam praktik, sudah sering diterapkan hakim. Mungkin karena ini dipandang sebagai cara terbaik menyelesaikan masalah.

 

Mediasi penal punya keunggulan seperti fleksibilitas, kecepatan penyelesaian, biaya rendah, dan kekuasaan yang dimiliki para pihak untuk menentukan kesepakatan yang ingin dicapai (hal. 78). Tentang bagaimana cara mediasi penal dilakukan, Anda sebaiknya membaca langsung buku ini.

 

Bagaimanapun, penanganan perkara anak harus dibedakan dari cara memperlakukan orang dewasa. Para pakar hukum dan pembuat kebijakan sudah lama memikirkan ‘alternatif intervensi’ yang lebih cocok untuk menangani ABH. Saat melakukan tindak pidana, anak dipandang tidak mandiri secara kejiwaan, dan bukan pula miniatur orang dewasa. Anak yang menjadi pelaku pidana juga dapat dipandang sebagai korban (hal. 2). Maka, keadilan restoratif –dengan berbagai variasinya -- menjadi salah satu obat yang ditawarkan.

 

Restorative justice memfouskan keadilan bagi korban sesuai keinginan dan kepentingan pribadi, tetap tetap membuat pelaku bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya. Keadilan restoratif menawarkan pemulihan bagi semua pihak yang terlibat (hal. 5). Aparat penegak hukum, pelaku, dan korban bisa bersepakat untuk mengalihkan kasus tersebut agar tidak dibawa ke peradilan pidana jika pelakunya adalah anak-anak. Sebisa mungkin dalam proses penanganan perkara pun, semua pihak membuat si anak merasa nyaman. Pengadilan pidana seharusnya menjadi upaya terakhir.

 

Mediasi Penal:

Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia

 

Penulis: Hj Dewi, SH. MH dan Fatahillah A. Syukur SH, MLI, Msi.

Penyunting: Triani Retno

Penerbit: Indie Publishing, Depok.

Cet-1 : Mei 2011

Halaman: xxvi + 228

 

Sebagai sebuah terobosan, mediasi penal pasti menghadapi hambatan dalam praktik. Apalagi payung hukumnya belum kuat. Beberapa lembaga terkait seperti Mahkamah Agung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kepolisian, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Sosial mencoba membuat aturan bersama yang menampung cara-cara penyelesaian ABH dengan pendekatan restorative justice.

 

Buku ini menyajikan perbandingan mediasi penal di beberapa negara lain. Ada negara yang sudah mengaturnya dengan baik. Saat ini, sudah ada 1.300-an program yang tersebar di 17 negara. Ini artinya, semakin banyak negara yang melirik mediasi penal.

 

Untuk Indonesia, penulis antara lain menyarankan agar segera dibuat payung hukum yang jelas, termasuk dalam RUU KUHAP. Juga membentuk pilot project penerapan mediasi penal dalam perkara anak-anak.

 

Sebagai suatu kajian ilmiah yang mengangkat isu relatif baru, buku ini layak dibaca, terutama oleh Anda yang bergerak dalam advokasi perkara anak. Beberapa kasus yang termuat dalam buku semakin memperkaya konten buku yang sudah bisa diperoleh dengan merogoh kocek 55 ribu rupiah.

 

Selamat membaca….

Tags: