Ribuan jaksa di seluruh Indonesia kini bisa bernafas lega. Tunjangan kinerja atau remunerasi yang ditunggu-tunggu setahun terakhir sudah tiba. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Perpres tentang pemberian tunjangan kinerja kepada pegawai korps adhyaksa 12 Juli lalu.
Hingga pertengahan Ramadhan, tunjangan kinerja tersebut memang belum cair. Jaksa Agung Muda Pembinaan, Iskamto, juga membenarkan dalam sebuah wawancara di televisi pekan lalu. Toh, korps adhyaksa tetap pantas bersyukur. Bukan saja karena Perpres No 41 Tahun 2011 sudah diteken Presiden, tetapi juga lantaran pemberian tunjangan kinerja itu berlaku surut, mulai Januari 2011.
Tunjangan kepada jaksa menggenapi fasilitas serupa bagi aparat penegak hukum seperti hakim dan polisi. Juga bagi pegawai lembaga pemerintah yang berkaitan dengan pembangunan hukum seperti Kementerian Hukum dan HAM, serta pegawai Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenko Polhukham).
Kejaksaan adalah pamungkas, aparat penegak hukum –minus advokat tentu saja-- yang mendapatkan tunjangan kinerja. Remunerasi bagi hakim sudah dimulai sejak 2008 seiring dengan gencarnya penataan birokrasi di Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya. Disusul kemudian pemberian tunjangan ke kepolisian dan pegawai Kemenko Polhukham pada pertengahan Desember 2010. Pada Juli lalu, menyusul remunerasi bagi pegawai Kementerian Hukum dan HAM. Yang terbaru adalah tunjangan kinerja bagi jaksa.
Kejaksaan menjadi terakhir karena dalam beberapa kajian, lembaga ini dinilai paling sulit menjalankan reformasi birokrasi. Meskipun reformasi sudah dijalankan sejak masa kepemimpinan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, kinerja lembaga ini dinilai masih berada di bawah MA dan Polri.
Dibanding polisi, besaran tunjangan yang diterima jaksa lebih tinggi. Untuk kelas jabatan 17, misalnya, seorang jaksa bisa mendapatkan tunjangan Rp19.360.000, lebih tinggi lebih dari tiga juta dibanding yang diterima polisi untuk kelas jabatan yang sama. Besaran yang diterima jaksa kelas terendah, yakni kelas jabatan 2, mendapatkan Rp1.645.000, dan pada kelas jabatan sama polisi menerima tak sampai separuhnya.
Tabel
Perbanding Besaran Tunjangan Kinerja
Kelas Jabatan | Pegawai Kemenhukham | Polisi | Jaksa |
18 | - | 21.305.000 | 25.739.000 |
17 | 19.360.000 | 16.212.000 | 19.360.000 |
16 | 14.131.000 | 11.790.000 | 14.131.000 |
15 | 10.315.000 | 8.575.000 | 10.315.000 |
14 | 7.529.000 | 6.236.000 | 7.529.000 |
13 | 6.023.000 | 4.797.000 | 6.023.000 |
12 | 4.819.000 | 3.690.000 | 4.819.000 |
11 | 3.855.000 | 2.839.000 | 3.855.000 |
10 | 3.352.000 | 2.271.000 | 3.352.000 |
09 | 2.915.000 | 1.817.000 | 2.915.000 |
08 | 2.535.000 | 1.453.000 | 2.535.000 |
07 | 2.304.000 | 1.211.000 | 2.304.000 |
06 | 2.095.000 | 1.010.000 | 2.095.000 |
05 | 1.904.000 | 841.000 | 1.904.000 |
04 | 1.814.000 | 731.000 | 1.814.000 |
03 | 1.727.000 | 636.000 | 1.727.000 |
02 | 1.645.000 | 553.000 | 1.645.00 |
01 | - | - | - |
Dosen hukum kepegawaian Universitas Indonesia, Harsanto Nursadi, berpendapat pemberian remunerasi itu seharusnya bisa mendorong kualitas kinerja pegawai. Mengingat besarnya anggaran negara yang dikeluarkan untuk remunerasi pegawai sudah selayaknya pelayanan yang diberikan semakin baik dan kinerja aparat kian tinggi. Namun dunia idealis itu belum tentu terwujud. Harsanto meyakini remunerasi belum tentu langsung memperbaiki kinerja semua aparat penegak hukum.
Hakim misalnya. Masih ada hakim yang tersangkut mafia hukum dan tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, remunerasi bagi hakim relatif tinggi. Seorang hakim biasa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mendapatkan remunerasi Rp5,4 juta per bulan. Ironisnya, tunjangan kinerja itu tak selalu sesuai harapan. “Tidak selalu pemberian insentif itu memacu kinerja,” kata Harsanto.
Untuk mencapai harapan itu, Fajri Nursyamsi berpendapat pemberian tunjangan kinerja harus didukung langkah internal lembaga berupa penegakan hukum dan kode etik. Disiplin pegawai benar-benar harus ditegakkan. Tidak terlalu persoalan besaran yang diperoleh, karena tetap memberikan manfaat bagi pegawai.
“Yang penting harus ditegakkan peraturan internal dan kode etik agar remunerasi itu efektif meningkatkan kinerja,” pungkas peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu.