Lakon ‘Tom & Jerry’ dalam Hubungan KY - MA
Fokus

Lakon ‘Tom & Jerry’ dalam Hubungan KY - MA

Batas-batas kewenangan Komisi Yudisial terus menjadi pangkal cekcok dua lembaga yang diatur konstitusi. Perlu duduk bersama dengan kepala dingin.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Dalam Milad peringatan enam tahun Komisi Yudisial, hadir empat orang hakim agung. Foto: SGP
Dalam Milad peringatan enam tahun Komisi Yudisial, hadir empat orang hakim agung. Foto: SGP

Ada yang istimewa dalam peringatan enam tahun Komisi Yudisial, 18 Agustus lalu. Bukan hanya karena perubahan tanggal ulang tahun, dari semula setiap 2 Agustus. Tetapi juga karena dalam milad itu hadir setidaknya empat orang hakim agung, yakni Prof Takdir Rahmadi, Salman Luthan, Supandi, dan Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pengawasan HM Hatta Ali.

 

Kehadiran para hakim agung di acara Komisi Yudisial seolah menepis anggapan bahwa hubungan Komisi dengan Mahkamah Agung masih ‘panas dingin’. Sebelum menjadi pembicara dalam diskusi, Hatta Ali tampak berbincang akrab dengan Ketua Komisi Yudisial (KY) Eman Suparman.

 

Barulah ketika diskusi dimulai, bibit-bibit perbedaan pandangan dan perseteruan kedua lembaga muncul. Secara khusus Hatta menyinggung sekaligus mengkritisi kewenangan Komisi yang diusulkan dalam revisi UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Salah satu wewenang yang hendak diberikan adalah penyadapan. “Komisi Yudisial tidak punya wewenang pro-justisia,” tandas Hatta.

 

Rencana pemberian penghargaan kepada hakim-hakim berprestasi yang sudah lama digagas Komisi Yudisial tak lepas dari kritik Hatta Ali. “Hakim tidak perlu populer. Yang penting hakim menjalankan tugas,” tegasnya.

 

Tidak lupa pula Hatta mengkritik hasil-hasil pemeriksaan hakim terlapor oleh Komisi Yudisial. Komisi Yudisial dinilai telah mempermalukan sang hakim karena mempublikasikan hasil pemeriksaan. “Janganlah ekspos hasil pemeriksaan hakim.”

 

Sebelum Hatta, komisioner Komisi Yudisial Suparman Marzuki sudah lebih dahulu memaparkan penilaian KY terhadap pelaksanaan wewenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. “Masih jauh dari harapan,” kata Suparman.

 

Penyebabnya antara lain datang dari Mahkamah Agung. Pelaku kekuasaan kehakiman ini tak merespons semua rekomendasi KY. Dari 123 rekomendasi KY ke MA sepanjang periode 2005 hingga 31 Juli 2011, mayoritas (108) rekomendasi ditolak. Dari jumlah yang ditolak, 41 rekomendasi dianggap sudah memasuki ranah teknis yudisial. Poin terakhir ini juga yang sedikit ‘memanaskan’ hubungan kedua lembaga ketika KY merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada majelis hakim PN Jakarta Selatan yang menangani perkara Antasari Azhar. Mahkamah Agung menolak KY memasuki ranah teknis yudisial.

 

Kini, pusaran perseteruan mengarah pada RUU Komisi Yudisial. Mahkamah Agung berusaha terus mengawal proses pembahasan dengan mengirim hakim agung Prof. Abdul Gani Abdullah. Ketua Panja RUU Komisi Yudisial, Tjatur Sapto Edy, bercerita pernah ada draf yang sudah disetujui tetapi kemudian diubah begitu wakil MA hadir. Meskipun sebagian besar rumusan sudah disetujui Pemerintah, DPR, masih ada dua isu krusial: sanksi terhadap para hakim, dan isu penyadapan.

 

Tom & Jerry

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendinginkan bara hubungan MA dan KY. Petinggi kedua lembaga juga sudah sering bertemu, baik formal maupun informal. Pada 19 Juli lalu, misalnya, Komisi Hukum Nasional (KHN) mendudukkan wakil MA dan KY dalam satu forum diskusi membahas peran KY dalam rekrutmen hakim. Ini menjadi salah satu isu krusial dalam hubungan kedua lembaga.

 

Pegiat gerakan antikorupsi, Emerson Juntho, menilai ketegangan hubungan kedua lembaga sudah berjilid-jilid. Dimulai dari jilid pertama, pernyataan Ketua KY tentang kocok ulang seluruh hakim agung, dibalas dengan larangan bagi hakim memenuhi panggilan KY. Jilid berikutnya muncul pada seleksi hakim agung dan hakim. Terus, puluhan hakim agung mengajukan judicial review Undang-Undang Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi. Belakangan, jilid perseteruan bertambah ketika Mahkamah Agung melaporkan komisioner KY, Suparman Marzuki, ke Bareskrim Mabes Polri.  

 

Suparman dipolisikan lantaran pernyataannya mengenai uang pelicin masuk hakim atau ketika hendak menduduki jabatan ketua pengadilan di Ibukota. Laporan MA itu pada akhirnya memang dicabut. Suparman sudah meminta maaf kepada Ketua MA Harifin Tumpa. Peter Kurniawan, pengacara MA, menyebutkan pencabutan itu berarti “perseteruan antara MA dengan Suparman Marzuki telah berhenti dan sudah berakhir”.

 

Menurut komisioner KY, Taufiqurrahman Syahuri, hubungan KY dan MA ibarat lakon kartun Tom & Jerry. Lakon seekor kucing dan tikus yang terus menerus bertengkar, saling jegal, meskipun pada dasarnya mereka saling merindukan. Benci tapi rindu. Tokoh Tom tak akan hidup tanpa kehadiran Jerry. Dalam acara yang difasilitasi KHN Juli lalu, Taufiqurrahman meminta agar perbedaan penafsiran kedua lembaga terhadap hal-hal tertentu tak sampai membuat hubungan retak. Dalam konteks ini, yang dibahas adalah keterlibatan KY dalam rekrutmen calon hakim. “Jangan seperti Tom & Jerry,” katanya.

 

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang, Saldi Isra, mengibaratkan hubungan KY dan MA laksana laga Inggris vs Jerman dalam piala dunia. Wasit menganulir gol Inggris. Dari rekaman jelas terlihat bola sudah memasuki gawang. Tetapi tetap saja wasit tak mau disalahkan. Wasit resisten jika harus diawasi kamera. Pengawasan KY terhadap MA tak ubahnya tamsil itu. Pada dasarnya, kata Saldi, tak ada lembaga yang senang diawasi lembaga lain. “Apalagi, MA mempunyai simbol kekuasaan yang merdeka,” ujarnya dalam diskusi enam tahun Komisi Yudisial.

 

Untuk meniadakan benih perseteruan, Tjatur Sapto Edy meminta agar KY dan MA sering duduk bersama untuk menyamakan persepsi. Jika tidak, kedua lembaga akan terus terkungkung pada perbedaan pandangan dan penafsiran. “Jangan saling bermusuhan. Kalau ada masalah, tidak akan ada solusi (kalau terus bermusuhan)”, kata politisi Partai Amanat Nasional itu.

 

Jalan menuju jejalin hubungan baik bukan tak ada. KY dan MA sudah pernah memperlihatkan itu ketika sama-sama membahas dan akhirnya melahirkan Kode Etik dan Kode Perilaku Hakim.

 

Kalau tujuannya demi kebaikan bersama, mengapa tidak? Saldi Isra menyarankan agar kedua lembaga memperbaiki cara berkomunikasi.

Tags: