Larangan Pemakaian Nama Ombudsman Inkonstitusional
Berita

Larangan Pemakaian Nama Ombudsman Inkonstitusional

Dengan putusan MK ini, lembaga-lembaga ombudsman yang sudah ada di daerah tetap diakui keberadaannya.

Oleh:
ASh
Bacaan 2 Menit
Larangan pemakaian nama Ombudsman Inkonstitusional. Foto: SGP
Larangan pemakaian nama Ombudsman Inkonstitusional. Foto: SGP

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian pengujian Pasal 46 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Pasal 1 angka 13 UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

 

“Permohonan pemohon terkait inkonstitusionalitas larangan penggunaan nama Ombudsman beralasan menurut hukum. Menyatakan Pasal 46 UU ORI bertentangan dengan UUD 1945,” ucap Ketua Majelis Hakim MK Moh. Mahfud MD saat membacakan putusan di ruang sidang Gedung MK Jakarta, Selasa (23/8).            

 

Sebagaimana diketahui, permohonan ini diajukan oleh Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan sejumlah perwakilan lembaga ombudsman daerah menguji Pasal 46 UU ORI dan Pasal 1 angka 13 UU Pelayanan Publik. Ombudsman daerah yang bergabung menjadi pemohon perkara ini antara lain Ombudsman Kota Makassar, Ombudsman Daerah Istimewa Yogyakarta, Ombudman Kabupaten Asahan, Ombudsman Swasta DIY, dan LSM Komite Pemantau Legislatif Sulawesi. 

 

Menurut para pemohon, pasal yang diuji itu seolah-olah menghapus/mengancam keberadaan lembaga ombudsman di daerah yang dibentuk dengan peraturan daerah. Sebab, lembaga ombudsman di daerah tak lagi diperbolehkan menggunakan nama “Ombudsman”. Mereka diwajibkan mengganti nama dalam waktu dua tahun sejak UU ORI itu berlaku. 

 

Aturan itu dinilai tidak sejalan dengan konsep otonomi daerah serta bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2), (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kontras dengan Pasal 46, justru Pasal 1 angka 13 UU Pelayanan Publik justru memperkuat keberadaan ombudsman di daerah baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, BUMN/BUMD maupun lembaga swasta atau perorangan yang dananya bersumber dari APBN/APBD.

 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan pembentukan lembaga Ombudsman adalah lazim dalam praktik universal di berbagai negara yang dilakukan baik pemerintah (pusat dan daerah, red) maupun lembaga swasta. Kata “Ombudsman” telah memiliki pengertian yang umum, bahkan diterima secara internasional sebagai fungsi independen dalam menerima keluhan, menginvestigasi, memberi alternatif penyelesaian hingga memberikan rekomendasi kebijakan.

 

Jika terdapat monopoli istilah Ombudsman akan sangat mengganggu proses komunikasi publik dalam penyampaian gagasan. Hal ini akan mengganggu hak berkomunikasi dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang dijamin dalam konstitusi. Mahkamah menilai lembaga ombudsman tidak dapat dimonopoli oleh negara.

Tags: