Sensus Pajak Perorangan Terganjal Aturan Perbankan
Berita

Sensus Pajak Perorangan Terganjal Aturan Perbankan

Dirjen Pajak mengeluhkan sulitnya mendapatkan data keuangan pada objek wajib pajak pribadi yang dimiliki oleh pihak perbankan.

Oleh:
Yoz
Bacaan 2 Menit
Dirjen Pajak Fuad Rahmany (kiri). Foto: SGP
Dirjen Pajak Fuad Rahmany (kiri). Foto: SGP

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Kementerian Keuangan, berencana melakukan sensus pajak terhadap wajib pajak badan usaha di akhir September ini. Namun, ekonom Anggito Abimanyu berpendapat, sensus pajak terhadap orang pribadi lebih penting ketimbang perusahaan. Hal itu dikatakannya saat dimintai masukan oleh Komisi XI DPR, Senin (12/9), terkait masalah penerimaan negara.

 

Menurut Anggito, sensus pajak terhadap perorangan memiliki potensi yang besar daripada perusahaan yang dianggapnya kurang efektif untuk meningkatkan penerimaan pajak. “Yang lebih mendesak adalah menginventarisasi wajib pajak pribadi. Selama ini potensi wajib pajak pribadi besar, tapi belum tergali karena banyak orang yang punya penghasilan ganda atau lebih dari satu sumber,” ujarnya.

 

Kendati demikian, mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) ini mengatakan, menyisir wajib pajak perorangan akan lebih sulit dibanding perusahaan yang telah menggunakan sistem audit dan laporan keuangan.

 

Berdasarkan data Ditjen Pajak, wajib pajak orang pribadi yang melaporkan SPT baru 8,5 juta. Padahal jumlah orang yang bekerja secara aktif ada 110 juta orang. Artinya, rasio SPT terhadap kelompok pekerja aktif hanya 7,73 persen. Sedangkan untuk WP badan usaha, pembayaran pajak yang dilaporkan melalui SPT hanya 466 ribu. Padahal, jumlah badan usaha aktif, tanpa usaha mikro, sekitar 12,9 juta WP.

 

Menanggapi pandangan Anggito, Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengatakan pihaknya juga berencana melakukan sensus terhadap wajib pajak pribadi. Menurutnya, Ditjen Pajak tidak memfokuskan wajib pajak mana yang akan disensus terlebih dahulu. Namun, ia mengeluhkan kendala yang dihadapi Ditjen Pajak, yakni sulitnya mendapatkan data keuangan pada objek wajib pajak pribadi yang dimiliki oleh pihak perbankan.

 

“Aturan tentang kerahasian bank yang ditetapkan oleh BI menjadi salah satu kendala dalam melakukan sensus pajak orang pribadi,” tuturnya.

 

Untuk diketahui, dasar hukum ketentuan rahasia bank di Indonesia, mula-mula adalah Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi kemudian diubah dengan Undang-undang No 10 Tahun 1998. Pasal 1 ayat 28 Undang-undang No 10 Tahun 1998 menyatakan “Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya”.

 

Kemudian, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 2/19/PBI/2000 menegaskan, kalau bank wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah. Namun, beleid ini menyatakan kewajiban memperoleh perintah atau izin tertulis untuk membuka Rahasia Bank dari Pimpinan Bank Indonesia.

 

Fuad meminta aturan perbankan seperti ini direvisi. Menurutnya, harus ada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas agar data-data orang pribadi ini tidak bocor, namun tidak menyulitkan perpajakan dalam melakukan sensus. “Tentunya dengan perjanjian bahwa kita akan merahasiakan, itu ada protokolnya,” ujarnya.

 

Wakil Ketua Komisi IX DPR Harry Azhar Azis setuju perlu ada aturan baru supaya Ditjen Pajak bisa mengakses data wajib pajak pribadi di perbankan. Untuk itu, ia menyarankan Ditjen Pajak untuk mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan kepada presiden.

 

“Jika aturannya sudah direvisi, Ditjen Pajak baru bisa mengakses nasabah pribadi,” kata politisi Partai Golkar ini.

Tags: